Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Keraton Yogyakarta. (Pixabay)
Ilustrasi Keraton Yogyakarta. (Pixabay)

Intinya sih...

  • Usulan pembentukan daerah istimewa harus berpijak pada tujuan besar mewujudkan kesejahteraan rakyat, menurut pakar UGM.
  • Pembentukan daerah istimewa atau otorita baru hanya akan berguna jika benar-benar mampu mendorong efektivitas pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  • Indonesia sebaiknya merancang sistem otonomi daerah yang asimetris, memberi keleluasaan untuk mengelola pemerintahan sesuai karakteristik masing-masing daerah.

Sleman, IDN Times - Pakar Politik dan Pemerintahan dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, menilai usulan pembentukan daerah istimewa maupun otorita baru sebaiknya harus berpijak pada tujuan besar mewujudkan kesejahteraan rakyat.

"Apapun langkah yang mau dilakukan, ini mendukung upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat atau tidak? Kalau tidak, tidak perlu dilakukan," kata Gaffar dikutip dari laman resmi UGM.

1. Tak guna jika untuk sirkulasi elite dan mengatur kekuasaan, simpan risiko

Ilustrasi kepala daerah. (IDN Times/Sukma Shakti)

Gaffar berpendapat, apabila tujuan dari usulan pembentukan daerah istimewa maupun otorita baru ini bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat maka sebaiknya diabaikan saja.

Prinsipnya, kata Gaffar, salah satu kunci tercapainya kesejahteraan adalah pemerintahan yang efektif. Menurutnya, pembentukan daerah istimewa atau otorita baru hanya akan berguna jika benar-benar mampu mendorong efektivitas pemerintahan.

"Kalau sekadar untuk memudahkan sirkulasi elite dan mengatur kekuasaan, menurut saya tidak ada gunanya," tegasnya.

Gaffar mengingatkan, pembentukan daerah baru apabila hanya dijadikan kendaraan politik elite menyimpan potensi risiko.

Ia mencontohkan pengalaman pemekaran daerah yang justru menimbulkan pembengkakkan biaya pemerintahan dan membuka peluang korupsi.

"Yang terjadi nanti rakyat tidak kunjung sejahtera, malah elite politik yang sejahtera. Ketimpangan sosial malah makin lebar," ujarnya.

2. Argumen lemah daerah bekas kerajaan jadi 'daerah istimewa'

Sultan Keraton Yogyakarta (kratonjogja.id/Motif Batik Larangan Keraton Yogyakarta)

Gaffar turut menanggapi argumen yang menyebut daerah bekas kerajaan layak diangkat menjadi daerah istimewa. Baginya, argumen ini lemah karena selain dari sisi historis, urgensinya juga perlu diperhatikan. Sebagai contoh, cuma Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki struktur pemerintahan kerajaan yang masih utuh sampai masa kini, mulai dari raja, istana, wilayah, sistem politik, prajurit, dan lain sebagainya.

"Kalau daerah lain, tinggal sejarahnya saja. Struktur pemerintahannya sudah tidak lengkap. Jadi argumen itu sangat lemah," katanya.

Dia menjelaskan, daerah istimewa di Indonesia selama ini lahir karena faktor sejarah khusus dan urgensi. Macam DIY dengan perannya dalam kemerdekaan, Aceh dengan sejarah konfliknya, atau DKI Jakarta dengan status ibu kota negara.

Daerah-daerah tersebut diberikan kewenangan khusus, seperti fleksibilitas urusan pertanahan di DIY, legalnya partai lokal di Aceh, hingga spesialnya tata kelola kabupaten/kota di DKI Jakarta.

3. Tiap daerah punya keleluasaan kelola pemerintahan sesuai karakteristik

Potret Tugu Pal Putih Yogyakarta. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Gaffar memaparkan bahwa Indonesia dengan kondisi sosial-budaya tiap daerah sangat beragam, justru secara umum menganut sistem pemerintahan daerah yang seragam.

Pandangannya, negara semestinya merancang sistem otonomi daerah yang asimetris. Dalam artian, masing-masing daerah diberi keleluasaan untuk mengelola pemerintahan sesuai karakteristik masing-masing.

Oleh karenanya, Gaffar pun mendorong supaya pemerintah berhenti menggunakan pendekatan parsial dan tambal sulam dalam menata daerah. "Kalau otonomi daerah tidak seragam, setiap daerah jadi istimewa. Tidak perlu lagi pembicaraan soal daerah khusus," sambungnya.

Sebaliknya, Gaffar menyarankan agar pemerintah perlu merancang desain besar secara menyeluruh untuk sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

"Kalau memang mau dibuat rancangan yang lebih efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pikirkan keseluruhan daerah. Buatlah rancangan yang tidak seragam dan yang tidak simetris," pungkasnya.

Editorial Team