Marrakesh Market di Pakuwon Mal Yogyakarta. (IDN Times/ Herlambang Jati Kusumo)
Melalui talkshow yang digagasnya ini, Sutardi ingin memberikan pengarahan kepada semua orang tentang bisnis fesyen dan memberikan kesempatan kepada UMKM konveksi di Yogyakarta agar bisa lebih dikenal dan diberikan kesempatan untuk lebih maju.
Pemilik Nifira Konvek, Egi Mashita mengungkapkan hal serupa. Sejak berdiri pada 2020 dan sampai saat ini membawahi 55 karyawan belum mendapatkan akses bantuan dari pemerintah sama sekali, baik dalam bentuk permodalan maupun pelatihan.
Padahal, dalam menjalankan usahanya tantangan terbesar adalah menghasilkan pakaian dengan harga jasa yang terjangkau dan berkualitas serta mengelola sumber daya manusia. “Harapan saya UMKM konveksi dilirik pemerintah, jadi bisa berkembang dan lebih baik lagi,” ujarnya yang bekerja sama dengan Farah Button sejak awal 2023.
Senada dengan Egi, Pemilik UMKM konveksi Asiatik Work, Ratu Sabilla juga belum pernah mendapatkan akses bantuan maupun pelatihan dari pemerintah. UMKM konveksi yang sudah bekerja sama dengan Farah Button sejak Desember 2021 ini memiliki 18 orang penjahit yang terlibat dalam produksinya.
Menurut Ratu, tantangan terbesar dalam menjalankan usaha konveksi adalah memenuhi kuota produksi setiap minggu. Setiap penjahit mempunyai target yang harus dihasilkan per minggu.
“Jadi, jangan sampai kain datang terlambat dari pelanggan atau pun kain dari team cutting terlambat supaya pekerjaan selalu tersambung terus,” ucapnya.
Ia berharap jika pemerintah memberikan dukungan nyata, kualitas produksi UMKM bisa meningkat dan menerima pesanan secara berkelanjutan. Selain Sutardi, talkshow ini juga menghadirkan Isa Setyawan pemilik brand fesyen Gorilland yang juga berkolaborasi dengan UMKM konveksi di Yogyakarta.