Diskusi pembukaan pameran Memorabilia Wartawan Udin di Sleman, 3 Mei 2021. (IDN Times/Pito Agustin Rudiana)
Kedua kasus penganiayaan terhadap jurnalis peliput kasus korupsi tersebut membuat kelompok-kelompok masyarakat sipil bersatu dan bergerak sedari awal. Mereka mendesak polisi dan negara menuntaskan sebagai upaya melawan korupsi. Advokasi terus berlanjut, meskipun kasus Udin tak diungkap hingga menjelang 25 tahun sejak kematiannya.
Dalam kasus Nurhadi ada Aliansi Anti Kekerasan terhadap Jurnalis yang terdiri dari AJI Surabaya, KontraS, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya. Advokasi kasus Udin pun dikawal Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU) yang antara lain terdiri dari AJI Yogyakarta, Indonesian Court Monitoring (ICM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta.
Koordinator K@MU, Tri Wahyu menuturkan, awalnya K@MU yang dibentuk pada 2002-2003 bermarkas di Sekretariat AJI Yogyakarta yang ketika itu di kawasan Gejayan. Langkah awal yang dirintis adalah berangkat ke Jakarta untuk menyambangi Bareskrim Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan beberapa institusi lain. Intinya mengabarkan, kasus pembunuhan Udin yang diwariskan Orde Baru itu belum dituntaskan.
Dia ingat, Polri lagi disibukkan memeriksa kasus Abu Bakar Ba’asyir. Penjagaan di Mabes Polri diperketat.
“Susah masuk. Tapi kami berhasil menyembunyikan megaphone dan lolos,” kata Tri Wahyu.
Begitu mobil rombongan K@MU berhasil masuk, aktivis LBH Yogyakarta Kamaruddin langsung keluar dari mobil dan berorasi dengan megaphone.
“Baru bilang assalamualaikum, kami langsung ditangkap polisi. Dimasukkan ke dalam gedung dan diajak audiensi,” kenang Tri Wahyu.
Pada 2014, K@MU berinisatif menggelar aksi saban tanggal 16. Tujuannya untuk mengingatkan publik, aparat kepolisian dan negara, bahwa kasus Udin belum tuntas. Jangankan publik, aparat polisi pun sudah lupa, bahkan tak tahu kasus itu.
Tri Wahyu ingat ketika mengirimkan surat pemberitahuan ke Polda DIY tentang rencana aksi di depan kantor itu. Aksi pertama digelar di depan Mako Polda DIY pada 16 September 2014. Seorang polisi pun bertanya: Udin itu siapa? Dan seorang polisi senior menjawab: itu lho, wartawan yang belum rampung kasusnya.
“Itu memberi pesan, aparat penegak hukum hari ini antara lupa atau melupakan kasus Udin. Ini tanggung jawab negara untuk menuntaskannya,” kata Tri Wahyu.
Setahun lebih pandemi COVID-19, aksi 16-an yang sudah bergeser ke depan Istana Negara Gedung Agung di kawasan Malioboro berganti secara online. Berbareng kemudian per Januari 2021, Gubernur DIY mengeluarkan Pergub Nomor 1 Tahun 2021 yang salah satu pasalnya melarang aksi di kawasan Malioboro.
“Itu pengunduran demokrasi di Yogyakarta. Pergub itu kado pahit awal tahun bagi warga negara Indonesia yang tinggal di sini,” kata Tri Wahyu.
Ironisnya, pengunduran demokrasi juga terjadi di tingkat nasional. KPK kian dilemahkan. Bahkan Menteri Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD meminta masyarakat jangan terlalu kecewa dengan pemerintahan yang koruptif. Kondisi negara saat ini, menurut Tri Wahyu tak jauh beda dengan masa rezim Orba. Dia menyebut rezim era Joko Widodo sebagai rezim era Obral alias Orde Baru Era Milineal.
“Jadi semangat Udin masih relevan dipakai siapapun untuk mengabarkan perlawanan terhadap korupsi,” tegas Tri Wahyu.