Seni, Sains dan Teknologi Melebur di Pameran Under The Same Sun

- Seni, sains, dan teknologi bersatu dalam pameran 'Under The Same Sun' di UNU Yogyakarta.
- Pameran ini menampilkan 23 karya dari 14 seniman yang berkolaborasi lintas disiplin di bidang seni dan teknologi.
- UNU Yogyakarta fokus pada STEM melalui transformasi digital dan program strategis seperti Blockchain Academy.
Sleman, IDN Times - Seni, sains dan teknologi melebur dalam pameran media baru bertajuk 'Under The Same Sun', bertempat di Galeri Nusantara Kampus Terpadu Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.
Ajang pameran seni Galeri Nusantara yang ketiga ini menampilkan 23 karya dari 14 seniman berbasis kolaborasi lintas disiplin di bidang seni dan teknologi.
Pameran yang diselenggarakan pada 9 November-15 Desember 2024 ini, sekaligus menjadi ruang refleksi dalam memandang hubungan manusia, alam, dan teknologi di zaman kiwari.
1. Anomali di kalangan NU, waktunya seni, sains dan teknologi bercampur

Rektor UNU Yogyakarta Widya Priyahita menjelaskan, pameran 'Under The Same Sun' yang membawakan karya-karya inovasi teknologi berbalut seni selaras dengan komitmen dan visi kampusnya dalam pengembangan bidang Science, Technology, Engineering, Mathematics (STEM).
Sebagai kampus anyar, UNU fokus pada STEM melalui transformasi digital hingga persiapan program strategis, seperti Blockchain Academy dan pembangunan Mohammed Bin Zayed (MBZ) College for Studies yang mempelajari kajian-kajian masa depan.
"UNU Yogyakarta ingin menjadi anomali di kalangan NU. NU kan selama ini dikenalnya ahli agama, tapi kita mulai masuk ke dunia baru, teknologi, science, isu-isu masa depan, soal AI dan lain-lain. Kita lalu bikin mereka ini nge-blend (bercampur)," kata Widya.
Widya juga meruntuhkan 'eksklusivitas' seni dengan menggelar pameran di kampus, bukan galeri seni. Dia ingin seni jadi konsumsi publik yang karya-karyanya bisa juga dipajang di mall, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya.
"Itu mereka yang awam bisa jadi dari sana mereka suka seni. Lalu, NU sebagai organisasi besar kok nggak punya galeri sendiri, padahal seniman NU banyak. Nah kan kampus punya banyak tembok, lorong dan ruang. Daripada polos-polos begini. Seniman di Indonesia itu banyak, tapi ruang pamerannya terbatas," imbuh Widya.
2. Hubungan manusia, teknologi, dan alam

Ignatia Nilu selaku kurator menjelaskan, Under The Same Sun mengolaborasikan lintas disiplin yang didorong seiring kehadiran teknologi Internet of Things (IoT) atau Internet untuk Segala. Bidang Galleries, Libraries, Archives, Museums (GLAM) dan STEM yang sebelumnya bekerja dengan pendekatan yang berbeda, sekarang mulai saling berinteraksi dan bertukar ide.
"Scientist dan seniman itu sama, seniman juga melakukan riset seperti scientist, imajinasi seniman itu mewujud secara artistik. Nah itulah karena mereka di bawah langit, di bawah matahari yang sama (Under The Same Sun), ungkap Nilu.
"Kedua bidang itu (GLAM dan STEM) menciptakan sinergi baru yang menggabungkan kreativitas imajinatif dengan metodologi ilmiah yang ketat. Penggunaan teknologi seperti mesin dan komputasi kini menjadi elemen sentral dalam berbagai kegiatan manusia sehari-hari," ucapnya.
Pameran bertema art and science, menciptakan ruang di mana ide-ide ini dapat dieksplorasi lebih jauh, menjadi platform penting bagi kolaborasi antara sektor-sektor berbeda, mulai dari pemangku kepentingan hingga para inovator muda. "Pameran ini mendukung pengembangan gagasan dan karya yang berdampak tidak hanya pada dunia akademik, tetapi juga industri dan masyarakat luas," sambungnya.
Sebagai refleksi dari dunia yang kian terotomatisasi dan terkoneksi, pameran ini juga berfungsi sebagai wadah untuk melihat kembali hubungan manusia dengan teknologi
dan alam.
"Dalam konteks pasca-antropose, pameran ini mengajak kita merenungkan masa depan di mana manusia, alam, dan teknologi hidup dalam keseimbangan," imbuhnya.
Nilu menambahkan, terlepas dari distopia teknologi, pameran ini menawarkan pandangan optimis tentang bagaimana manusia dapat hidup harmonis dengan alam, di bawah langit dan matahari yang sama, bahkan di era pasca-internet dan revolusi automasi.
3. Rupa-rupa Under The Same Sun

Beberapa karya seni inovatif yang mejeng dalam pameran ini antara lain, Terra Firma karya Lintang Radittya yang menggunakan empat mesin fonograf sebagai presentasinya. Lewat bebunyian hasil gesekan tanah dan mesin pemutar, karya ini menjadi investigasi spekulatif lanjutan dalam menilik paralelitas informasi atau peristiwayang dimiliki oleh tiap situs tempat tanah tersebut berasal.
Kemudian ada Vijnana — Ada Tiada (Jonas Sestakresna & RATA Studio) yang menyajikan arsip, artefak kuno terkait Candi Borobudur. Mewujud dalam presentasi digital yang imersif, karya ini disajikandalam medium cahaya dan digarap melalui komputasi digital.
Lalu, Suling VEMD Flute karya kolaborasi Stechoc x UNU x Tempa. Produk riset VEMD Flute yang dikembangkan berbalut teknologi inovatif menjadi alat musik
pan flute otomatis.
Proyek ini bertujuan untuk memungkinkan penggunaan file audio sebagai input untuk menghasilkan musik yang indah dan memikat dengan menggunakan teknologi
canggih.
Ada pula M. Fauzul 'Paul' Kiram yang menampilkan enam karyanya, salah satunya berjudul 'Stand Out' memanfaatkan susunan mekanika gerak bersumber dari putaran roda hingga mampu menggerakkan alu. Karya-karya Paul terinspirasi dari produk kebudayaan Minangkabau. Dia juga menerapkan teori parametric desain, golden ratio fibonacci dan ilusi optic pada salah satu karyanya.