Petugas Pengamat Gunung Merapi, Rela  Sendirian saat Lebaran

Rela berduaan dengan Merapi saat keluarga besar berkumpul

Sleman, IDN Times - Pengabdian tanpa batas, adalah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan sosok Heru Suparwaka. Sebagai petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi membuat Heru acap kali melewatkan waktu bersama keluarga tercinta, seperti pada Lebaran tahun ini.

Dijumpai di tempatnya bekerja, Kaliurang, Sleman, Heru menyempatkan waktunya sejenak dari sederet layar komputer pemantau aktivitas kegunungapian. Pria 55 tahun itu mengisahkan bagaimana dirinya bisa sampai menjadi pengawas gunung paing aktif di Pulau Jawa itu. 

Baca Juga: Libur Lebaran, Taman Nasional Gunung Merapi Ditutup

1. Puluhan tahun mengabdi

Petugas Pengamat Gunung Merapi, Rela  Sendirian saat LebaranIDN Times/Tunggul Kumoro

Jauh sebelum menjadi petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi seperti sekarang ini, Heru muda adalah seorang pecinta alam. Tak butuh waktu lama baginya untuk kemudian jatuh hati dengan profesinya kini.

"Ada informasi masalah kegunungapian, ada formasi, saya mencoba masuk ke situ. Peluang itu saya dapat di tahun 90an. Alhamdulillah tahun 1992 saya diangkat jadi pegawai pramubakti. Beberapa bulan kemudian, ada formasi untuk pengamat Merapi," katanya beberapa waktu lalu saat ditemui di kantor pengamatan Merapi, Kaliurang. 

Setelah melalui berbagai tahapan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Heru akhirnya diangkat menjadi pegawai tetap. Di mana pada saat itu dirinya ditempatkan di sektor Pengamatan Gunung Merapi sisi utara, pos Jrakah.

"Masuk pertama, langsung dihadapkan dengan krisis Merapi tahun 1994," ujarnya. Beruntung, di saat genting seperti itu ia sudah mulai bisa mengikuti ritme dan karakteristik kerja tim bersama para seniornya. Meski kadang tak mudah memang menerapkan teori ke dalam suatu praktik.

Seiring berjalannya waktu, ilmu yang ia peroleh dari seniornya mulai terserap. Heru semakin mendapatkan ilmu dari erupsi Merapi yang terjadi di tahun 2006, 2010, dan yang terakhir 2018 sampai sekarang ini.

"Tiap periode aktivitas (gejolak) Merapi, saya kebetulan dilibatkan di semua sektor. Misal sektor barat, lalu selatan. Merapi kan punya beberapa pos dan polanya per sektor. Sehingga kita bisa melihat visual kemudian komunikasi terhadap masyarakat, tahu cara memberikan info yang baik kepada masyarakat," paparnya.

2. Tak selalu bisa berada di sisi keluarga

Petugas Pengamat Gunung Merapi, Rela  Sendirian saat LebaranIDN Times/Tunggul Kumoro

Mengamati Merapi bukan hanya jelang ada gejolak erupsi saja. Apalagi sekarang makin sulit ditebak periodenya. Kondisi ini membuat Heru dan para petugas pos wajib berjaga dengan pola 24 jam. Mengingat jumlah personel cukup terbatas di tiap pos. Terhitung per Juni 2019 ini tinggal 2 orang saja, karena salah seorang seniornya telah memasuki masa pensiun.

Menurut Heru, intinya bagaimana sebisa mungkin Merapi ini tak luput dari penjagaan dan pengamatan. Baik di waktu normal maupun krisis. Segala visual yang diperoleh adalah informasi berharga.

"Tengah malam, enak-enaknya tidur, ada signal bisa didengar di sini. Kita yang tidur-tidur ayam, kita lihat apa yg terjadi, jenisnya apa, berapa amplitudonya, durasinya berapa lama, kita lakukan hingga terdokumen," imbuh Warga Bintaran, Kota Yogyakarta, ini.

"Kita itu polanya beberapa hari menginap di sini. Nggak bisa pulang balik," lanjutnya. Paling lama tak pulang biasanya saat Merapi memasuki level 'siaga' sampai 'awas'. "Pulang itu cuma nengok keluarga, terus sudah berangkat lagi. Kadang nggak sampai semalam," sebutnya.

Tak pelak, pola kerja macam ini membuatnya jarang bertemu keluarga. Pun saat momen-momen penting seperti Lebaran tahun ini.

"Ada merasa sesuatu hal yang kurang utuh. Kurang utuh tanpa kehadiran sosok seorang Bapak. Itu yang saya terima seperti itu. Tidak hanya keluarga kecil saya saja, keluarga besar juga. Mesti ditanyakan. Mereka sudah tahu, tapi mereka mesti menanyakan," ujarnya.

Meski mengaku sudah terbiasa akan situasi seperti itu, tetap saja ada kesedihan yang cukup mendalam bagi Heru saat momen-momen ini tiba. Salah satu contohnya, ketika melewatkan waktu untuk ziarah kubur ke pemakaman mendiang orangtuanya.

"Secara manusiawi, pasti ada suatu hal yang hilang. Saat melakukan budaya, artinya mendoakan orang tua langsung, sujud, di tempat mereka disemayamkan," imbuhnya. 

Bahkan beberapa tahun silam saat putrinya yang masih terlalu kecil tersiram air panas, Heru tetap bertugas. Dirinya tidak bisa seketika berada di samping anaknya, lantaran harus menunggu rekannya untuk menggantikannya.

"Tapi terpenting anak harus sudah sampai di rumah sakit terlebih dahulu. Waktu itu benar-benar enggak kuat saya," ucap Heru dengan nada berat seraya menggambarkan kondisi putrinya waktu itu.

3. Pantang dihubungi

Petugas Pengamat Gunung Merapi, Rela  Sendirian saat LebaranIDN Times/Tunggul Kumoro

Heru sadar, profesinya selain menyangkut nyawa juga nasib orang banyak. Ia tak bisa membiarkan aliran informasi terkait Merapi berhenti di tempatnya. Walaupun saat itu gunung ini tengah dalam kondisi yang tak stabil dan dibutuhkan proses evakuasi.

Dalam keadaan seperti itu pun, kewajibannya menyampaikan kondisi terkini Merapi pun tak lantas sirna. Layaknya kala tahun 2010 lalu. Memperbarui informasi sambil menyelamatkan diri ke arah Pakem dari Kaliurang.

Di samping itu, menjaga relasi dengan masyarakat sekitar tak kalah pentingnya. Karena dekat, segala update tentang Merapi bisa cepat tersampaikan. Mereka pun jadi paham betul langkah-langkah yang harus diambil ketika terjadi gejolak.

Bisa dilihat bahwa apa yang dikerjakan Heru ini penuh risiko. Menjalankan tugas dengan konsentrasi adalah wajib hukumnya. Satu caranya adalah dengan meminta orang lain tak menghubunginya ketika ia bekerja. Sekalipun saat itu Merapi sedang genting. Nyawa orang lain jadi prioritas.

"Kalau saya sedang tugas itu, saya harapkan jangan dihubungi dulu. Biar saya yang menghubungi. Karena nanti konsentrasi bisa pecah," katanya. Maklum, banyak yang harus diperhatikan di saat mata orang awam kemungkinan besar tak mampu menangkapnya.

4. Semua demi tugas kemanusiaan

Petugas Pengamat Gunung Merapi, Rela  Sendirian saat LebaranIDN Times/Tunggul Kumoro

Sebelum Heru membangun bahtera rumah tangga  calon istrinya sudah dijelaskan lika liku profesinya.

"Kita bekerja di bidang kemanusiaan. Kita membantu orang, kemanusiaan, menyangkut masalah nyawa, pribadi dan orang lain, tentunya kita tidak bisa suatu saat bertemu. Tergantung kondisi alam. Tapi yang namanya jodoh, Wallahu A'lam," imbuhnya.

Pengertian istrinya itu kemudian menular ke anak-anaknya.

"Sekarang ditunjang medsos, membantu sekali. Plus ada audio dan video. Berarti jelas, bapak tidak lari ke mana. Masih bekerja di situ," katanya. "Harapan hanya doa, saling mendoakan untuk kebaikan keluarga kita. Disyukuri dan pinter-pinternya ngatur saja," pungkasnya.

Baca Juga: Lebih dari 900 Jip Siap Sambut Wisatawan Lava Tour Merapi

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya