Misi Konservasi Tak Padam di Tengah Pandemik, Potong Gaji pun Dilakoni

Ratusan satwa liar di WRC terancam kesusahan pangan

Kulon Progo, IDN Times - Pandemik COVID-19 bak palu godam yang menghantam seluruh sektor tanpa pandang bulu. Bidang konservasi satwa liar tak luput dari sasarannya.

Situasi inilah yang kini dirasakan Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja, satu-satunya pusat rehabilitasi satwa liar dilindungi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bertempat di Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo.

Tak kurang dari 152 individu satwa liar di WRC terancam kesusahan pangan, sementara para pengelolanya mati-matian mencari solusi bertahan di masa pandemik.

Baca Juga: PTKM di Sleman Diperpanjang, Bisnis Perhotelan Semakin Lesu 

1. Hilang pemasukan

Misi Konservasi Tak Padam di Tengah Pandemik, Potong Gaji pun DilakoniIDN Times/Tunggul Damarjati

Manajer Konservasi WRC Reza Dwi Kurniawan menjelaskan, WRC yang merupakan bagian dari Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta ini telah kehilangan pemasukan utama sejak pandemik corona melanda.

"Sebelum pandemi kita bisa dibilang walaupun tidak lebih, tapi masih bisa berkecukupan dengan program kita edukasi seperti relawan yang datang serta school group, sekolah-sekolah internasional yang datang ke sini untuk kita lakukan edukasi, dana kita dari situ," ungkap Reza saat ditemui di Kantor WRC, Pengasih, Kulon Progo, Senin (1/2/2021).

WRC yang sebelum 2010 dikenal sebagai Pusat Penyelamatan Satwa Jogjakarta (PPSJ) ini, mulai kehilangan sumber pemasukan utama ketika pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan restriktif yang bertujuan mengurangi penyebaran virus COVID-19.

"Ketika pandemi datang, imigrasi tutup, kita tidak boleh melaksanakan program kerumunan segala macem, jadi program relawan berhenti total," kisahnya.

2. Kesulitan pakan

Misi Konservasi Tak Padam di Tengah Pandemik, Potong Gaji pun DilakoniIDN Times/Tunggul Damarjati

Dari sini, persoalan mulai melebar ke kegiatan operasional WRC, termasuk pemberian pakan kepada para satwa liar.

Dikatakan Reza, mayoritas satwa yang direhabilitasi merupakan herbivora. Pakannya, didominasi buah-buahan. Selama ini, WRC bermitra dengan salah satu retail untuk penyediaannya.

"Kan ada buah-buah yang gak layak jual, itu kita kerja sama supaya kita bisa dapat dan masih kami sortir lagi," kata Reza.

Hanya saja, para satwa liar ini memang butuh variasi pakan. Seringkali mereka bosan apabila yang diberikan monoton. Maka dari itu, WRC saat finansial kuat biasanya membelanjakan buah-buah di luar hasil sortiran tak layak jual tadi.

"Kaya nanas, pepaya, semangka, dan kacang-kacangan. Ngasih makannya juga nggak bisa asal, salah-salah mereka malah mencret," lanjut dia.

Semenjak sumber pemasukan utama terhenti, program variasi pakan otomatis hilang pendanaannya. Oleh karenanya, WRC mencoba solusi penggalangan dana lewat segala macam platform.

Kesulitan dana ini sampai ke telinga BKSDA. Reza menyebut selama pandemi, pemerintah sudah berupaya sebaik mungkin lewat suntikan dana selama pandemi. Kemudian, masih ada organisasi non-profit, seperti Centre for Orangutan Protection (COP), lalu Sunbear Outreach, Orangutan Conservancy, serta
KRKB Gembira Loka yang turut menyalurkan bantuan pakan.

WRC mengapresiasi penuh, namun apa daya. Selama ini mereka tidak punyak donatur tetap, sementara pandemik COVID-19 belum kelihatan ujungnya.

Kebutuhan WRC tak sedikit. Setidaknya dibutuhkan Rp100 juta tiap bulannya untuk kegiatan operasional, serta konservasi di atas tanah seluas nyaris 14 hektare. Uang sebanyak itu sudah termasuk gaji 25 karyawan.

3. Potong separuh gaji

Misi Konservasi Tak Padam di Tengah Pandemik, Potong Gaji pun DilakoniIDN Times/Tunggul Damarjati

Mau tak mau, WRC harus lebih menekan pengeluaran. Kali ini lewat upaya meminimalisir biaya operasional. Sebagai contoh, animal keeper tak lagi menggunakan sarung tangan dan masker model sekali pakai. Namun, yang bisa dicuci.

"Sistem perawatan dan rehabilitasi satwa ini kita tidak mengubah. Bagaimanapun mereka yang utama. Kita tidak menurunkan standar konservasinya," jelas Reza.

Saat pemberitaan soal vaksinasi mulai digembor-gemborkan sejak akhir tahun lalu, tersimpan harapan masa pandemik segera berakhir dan semua bisa kembali layaknya semula. Namun, yang datang malah sebaliknya.

"Awal tahun 2021, muncul kebijakan imigrasi ditutup," sebutnya.

Kebijakan ini adalah bagian dari keputusan pemerintah yang kembali memperpanjang Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali sampai 8 Februari 2021. Warga negara asing (WNA) dilarang masuk ke Indonesia selama itu.

WRC tidak punya banyak opsi. Satu-satunya yang tersisa adalah memotong upah seluruh karyawan tanpa terkecuali sebesar 50 persen per 1 Februari 2021 ini. Ekstrim memang. Tapi ini buah diskusi panjang bersama yayasan yang bisa dilakukan untuk mencegah operasional mandek.

"Akhir bulan Januari kita kemarin sudah di ujung tanduk. Tapi, bagaimanapun kondisinya, kami komitmen satwa adalah yang utama. Kita sengsara tapi karena satwa tak bisa cari makan sendiri, kita harus utamakan mereka," tegas Reza.

4. Komitmen misi lepas liar

Misi Konservasi Tak Padam di Tengah Pandemik, Potong Gaji pun DilakoniIDN Times/Tunggul Damarjati

Tak ada yang tahu kapan tepatnya pandemik berujung. WRC bersiap dengan segala kemungkinan terburuk.

Reza berkata, pihaknya telah berkomunikasi dengan BKSDA dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kalau-kalau WRC harus berhenti beroperasi. Sehingga kegiatan konservasi bisa dikembalikan ke pemerintah.

Tapi, api semangat Reza dan jawatannya tak pernah padam. Ada komitmen tetap bisa melepasliakarkan satwa liar ke habitatnya. Kegiatan penggalangan dana jalan terus, sembari berharap akan kepedulian orang-orang di sana terhadap satwa liar.

"Kita berusaha cash flow jangan sampai tidak ada, walaupun di-press seperti apa, kami tetap bertanggungjawab karena satwa ini dilindungi, milik negara dan kita harus mengembalikan kepda negara nantinya dengan cara melepasliarkan," imbuhnya.

Bukan bualan belaka, sepanjang 2020 kemarin walaupun dihantam pandemik, WRC sukses melepasliarkan 17-20 satwa liar ke habitatnya. Meliputi lima ekor buaya ke Way Kambas dan beberapa elang dan merak hijau ke Taman Nasional Baluran.

"Setiap satwa memiliki kondisi yang berbeda saat datang ke WRC. Bisa kondisi psikis stres, cacat, dan rehabilitasi ada yang bisa sampai puluhan tahun," terang Reza.

Beberapa yang masih dalam proses rehabilitasi antara lain orangutan, owa Sumatera, kera ekor panjang; unggas, seperti elang, kakak tua, nuri bayan, kasuari Papua; lalu reptil macam buaya, kura-kura byuku; serta mamalia layaknya beruang madu dan binturong.

Mayoritas satwa liar dulunya adalah hasil sitaan oleh BKSDA. Tak semua bisa dilepasliarkan tergantung kondisinya. Misal mereka yang mengalami trauma, usia terlalu tua, atau terlalu bergantung pada manusia bakalan tak mudah rehabilitasinya. Memaksakan kehendak hanya akan membunuh mereka nantinya.

"Ada orangutan yang dulu disita BKSDA dari rumah makan. Makannya cuma nasi sama kecap. Ada juga yang warga melihara dari kecil, sudah besar makannya banyak, susah ngerawatnya lalu dikasih ke kita. Jengkel saya karena setelah itu mereka biasanya cari yang bayi lagi," bebernya.

Seluruh jajaran WRC tak terkecuali Reza ingin giat konservasi ini langgeng. Harapannya yang terdekat adalah pemerintah segera membuka kembali pintu imigrasi. Dan paling utama adalah berakhirnya pandemik COVID-19.

"Kemarin sejak ada blow up dari media ya ada angin segar lagi. Ada bantuan yang datang lewat Kitabisa, donasi dari luar negeri, dan dari GoFundMe," pungkasnya.

Baca Juga: Bisnis Penginapan Jogja Suram, Hotel Melati Vs Bintang Perang Harga  

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya