The Life of Butoh di GIK UGM. (Dok. Istimewa)
Butoh lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya Barat pasca-Perang Dunia II, terutama setelah Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya. Diciptakan oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata, Butoh dikenal karena gaya dan pendekatannya yang sangat unik, menggabungkan elemen teater, tari, dan ekspresi tubuh yang ekstrem.
Butoh hadir sebagai reaksi terhadap konvensi tari tradisional Jepang, menawarkan bentuk seni yang memprovokasi dan menantang. Dikenal karena penekanan pada ekspresi individual dan bentuk tubuh yang tidak terduga, Butoh menolak batasan-batasan konvensional dalam seni pertunjukan. Meskipun tidak selalu mudah dipahami, Butoh memiliki kekuatan untuk memprovokasi pemikiran dan emosi yang mendalam, memperluas batasan seni dan memperkenalkan cara baru dalam berkomunikasi melalui tubuh dan gerakan.
Sejak puluhan tahun lalu, Butoh telah memasuki Indonesia. Kazuo Ohno, pelopor Butoh, pernah hadir di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1980-an, Butoh juga pernah tampil di Yogyakarta pada tahun 2009 dengan acara bertajuk sama ‘The Life of Butoh’. Butoh mencerminkan keikhlasan seniman dalam berekspresi dan kehidupan sehari-hari mereka. Menurut Soga Masaru, seorang musisi dan lighting designer Kazuo Ohno, spirit seni tradisi Jawa memiliki kesamaan dengan Butoh, termasuk praktik spiritual seperti puasa yang masih dilakukan oleh para pelaku Butoh.
Kini, murid-murid Butoh tersebar luas di berbagai penjuru dunia: Amerika, Eropa, Australia, Taiwan, Meksiko, Polandia, Korea, Hongkong, Kanada, Singapura, Malaysia, dan juga Indonesia. Melalui proses pewarisan dan sanad yang jelas, Butoh berkomitmen untuk membangun generasi masa depan dengan semangat perdamaian dunia.