Tulisan pada masker "saya ingat, waktu tanpa buku". IDN Times/Pito Agustin Rudiana
Tak hanya teater film, acara lain yang dihelat Institut Ungu, sebuah lembaga yang mengampanyekan kesetaraan gender dan HAM melalui seni budaya menampilkan lima diskusi yang mengangkat tema tentang seni dan HAM dimulai 23 November 2020.
Sejumlah seniman teater, sastrawan dan pembuat film seperti Linda Tagie, Dicky Senda, Nano Riantiarno, Naomi Srikandi, Yulia Evina Bhara, Fanny Chotimah, Hafez Gumay, dan Band Tashoora akan tampil menjadi pembicara dalam lima diskusi yang digelar. Tak ketinggalan para akademisi muda dan para aktivis HAM dan hak-hak perempuan serta kesetaraan gender yang aktif dan konsisten menyuarakan hak-hak tersebut.
“Kenapa anak-anak muda? Karena mereka juga kelompok marginal yang hak-haknya sering dilanggar dan tidak dilibatkan dalam partisipasi politik,” kata Dana Fahadi dari Youth Centre Studies (Yousure) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Yousure juga melakukan riset tentang proses pembelajaran sejarah di SMA dan SMK dengan responden guru dan siswa. Yang menarik menurut Dana, anak-anak muda yang kerap dicap apatis ternyata mempunyai kepedulian terhadap isu-isu pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas. Tidak terbatas hanya peduli terhadap isu-isu pelanggaran HAM yang menimpa anak-anak muda seusianya.
“Dan mereka punya persepsi sendiri atas sejarah. Tidak menelan mentah-mentah yang diajarkan di sekolah,” kata Dana.
Dan untuk mengingatkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mendapat keadilan, Institut Ungu mematrinya menjadi tulisan pada masker dengan “saya ingat, waktu tanpa buku”. Menurut Faiza, frasa “saya ingat” diambil dari penggalan dialog dalam naskah drama itu.