Tata Kelola Minyak dan Gas Dikorupsi, Ini Saran Pukat UGM

- Pengawasan tata kelola migas perlu diperkuat setelah munculnya dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina International Shipping, dan PT Kilang Pertamina Internasional.
- Modus korupsi dimulai dari pengondisian jumlah produk untuk alasan impor minyak mentah, merugikan konsumen BBM dan berdampak signifikan terhadap kerugian negara.
- Keterlibatan masyarakat, media, dan organisasi sipil diperlukan untuk memperkuat pengawasan serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi energi melalui media sosial.
Sleman, IDN Times - Pengawasan terhadap tata kelola minyak dan gas (migas) perlu diperkuat setelah munculnya dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah pimpinan di PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina International Shipping, dan PT Kilang Pertamina Internasional.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha Darmawan, mengatakan pemberantasan praktik mafia migas tidak cukup hanya melalui penindakan terhadap pelaku, tetapi juga harus disertai dengan perbaikan sistem pengawasan yang lebih ketat.
"Dalam memberantas praktik-praktik mafia migas. Tidak hanya melalui penindakan terhadap pelaku, tetapi juga melalui perbaikan sistem pengawasan yang lebih ketat di sektor migas," ujarnya, Selasa (4/3/2025).
1. Pengawasan dinilai lemah

Yuris menjelaskan kasus dugaan korupsi ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap tata kelola migas, termasuk dalam kebijakan impor. Terlebih lagi, praktik tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu antara 2018 hingga 2023.
Ia menjelaskan skema korupsi tersebut diawali dengan pengondisian agar produksi minyak mentah dalam negeri menurun yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan impor minyak mentah.
"Modus seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Bahkan di kasus-kasus korupsi impor yang lain, modus korupsi terencana selalu dimulai dari pengondisian jumlah suatu produk sehingga pemerintah punya dalih untuk melakukan impor," jelasnya.
2. Impor dijadikan ladang korupsi

Menurut Yuris, proses impor tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai ladang korupsi, dengan cara pengondisian pemenang bagi perusahaan eksekutor impor serta praktik mark up harga impor.
Dalam kasus PT Pertamina Patra Niaga, praktik ini tidak hanya merugikan konsumen yang mengonsumsi BBM, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kerugian negara.
Oleh karena itu, ia berharap kejaksaan serius dalam membongkar seluruh pihak yang terlibat.
Untuk memperkuat pengawasan, Yuris menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat, media, dan organisasi masyarakat sipil agar celah yang dimanfaatkan mafia migas dapat diminimalisir.
"Masyarakat dapat mengawasi distribusi BBM dan melaporkan jika ada penyimpangan melalui Aplikasi MyPertamina dan Lapor.go.id," ujarnya.
3. Dorong transparansi tahapan distribusi

Yuris menambahkan langkah lain yang bisa dilakukan adalah mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap distribusi dan alokasi energi melalui media dan media sosial.
"Kedua, masyarakat bisa mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap distribusi dan alokasi energi melalui media dan media sosial. Hal ini tentunya karena keduanya bisa menjadi alat yang kuat untuk menyuarakan masalah ini melalui petisi atau kampanye digital," kata dia.
Di sisi lain, Yuris berharap pemerintah mempertimbangkan pemberian kompensasi bagi masyarakat yang terdampak langsung akibat kasus korupsi ini. "Saya kira ini juga perlu menjadi catatan bagi pemerintah, bahwa masyarakat yang secara nyata terdampak langsung dari kasus korupsi masih belum mendapatkan akses keadilan," jelasnya.