(Kediaman Tan Malaka di Payakumbuh, Sumatera Barat) infosumbar.net
Istilah oposisi acapkali muncul ketika momentum pemilihan umum digelar. Padahal kehadiran oposan yang berseberangan dengan pemerintah sudah ada sejak pemerintahan awal Indonesia. Tan Malaka-lah sang oposan pertama itu.
“Cita-citanya untuk merdeka 100 persen membuat Tan menjadi pionir oposisi pertama di Indonesia,” kata Ragil.
Ceritanya adalah ketika Tan kembali ke Hindia Belanda pada 1942 usai Jepang mengusir Pemerintah Kolonial Belanda. Namun Tan benar-benar muncul di hadapan publik usai Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kemudian Tan berkeliling di Pulau Jawa untuk mengabarkan berita gembira soal kemerdekaan.
Berkebalikan dengan rakyat yang menyambut gegap gempita kemerdekaan itu, pemerintahan Soekarno justru masih bersikap kooperatif dengan penjajah. Mereka bersedia melakukan perundingan dengan Belanda untuk membahas status kemerdekaan Indonesia lewat Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani kedua negara pada 25 Maret 1947. Sikap ini yang ditentang Tan. Bagi Tan, Indonesia sudah merdeka, buat apa berunding dengan penjajah lagi?
Di mata Ragil, Tan adalah sosok yang keras dan konsisten memegang prinsip. Salah satu prinsip hidupnya adalah menolak melakukan negosiasi dengan penjajah. Bagi Tan, jika berhadapan dengan penguasa yang destruktif, penguasa yang mendominasi, maka harus melawan dengan sekuat tenaga. Negosiasi menjadi langkah terakhir yang digunakan saat berhadapan dengan rakyat akar rumput dalam proses mobilisasi.
Tan membuktikan perlawanan terhadap penjajah dengan turut angkat senjata mengusir tentara Sekutu yang merapat ke Surabaya pada Desember 1945. Usai itu, Tan ke Purwokerto untuk menyusun strategi perlawanan total melawan Sekutu dengan membentuk perkumpulan Persatuan Perjuangan yang mendapat dukungan penuh Jenderal Sudirman. Bahkan Sudirman pun memilih terus berperang dengan strategi gerilya ketimbang berunding dengan penjajah.
Perkumpulan tersebut merupakan manifesto kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah Republik Indonesia yang memilih jalur perundingan. Di situlah, Tan dicap sebagai oposan. Pemerintah Soekarno di bawah Kabinet Syahrir memburu dan menangkapi tokoh-tokoh Persatuan Pembangunan, termasuk Tan.
Dia dibebaskan masa Kabinet Amir Syarifuddin. Ketika itu Perundingan Renville antara pemerintah Indonesia dengan Belanda sudah diteken pada 17 Januari 1948 yang isinya membuktikan kekecewaan Tan. Seperti pengakuan Belanda atas wilayah Indonesia hanya sebatas Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Konsekuensinya ada garis demarkasi yang membatasi wilayah Indonesia dengan jajahan serta penarikan tentara Indonesia dari wilayah jajahan.
Tan kemudian kembali ke Jawa Timur, yaitu Kediri untuk menyusun kekuatan menghadapi Agresi Militer Belanda 1948. Lewat siaran radio di Kediri, Tan mendengungkan ajakan menolak pengakuan atas Perjaanjian Linggarjati dan Renville, menghancurkan negara boneka bentukan Belanda, mengambil alih semua aset Belanda dan Eropa di Indonesia, mengembalikan harga diri rakyat Indonesia, mengabaikan ajakan perundingan apapun yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, serta menyatukan seluruh partai dan badan keamanan rakyat.
Tan pun dianggap tukang bikin onar. Dia kembali diburu pemerintah Indonesia dan ditembak mati oleh tentara indonesia. Sebagaimana ditulis Peneliti Belanda, Harry A. Poeze dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (September 1948-Desember 1949), dia membaca terbitan berbahasa Belanda pada Juni 2007 berjudul Verguisd en vergeten. Isinya menyebutkan, Tan ditembak pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Poeze yang telah melakukan penelitian tentang Tan Malaka sejak 1980 kemudian ke Kediri untuk mencari letak makam Tan.