Tagar #IndonesiaGelap vs #IndonesiaTerang: Perang Narasi di Medsos

- Analisa tagar #IndonesiaGelap dan #IndonesiaTerang oleh tim Data & Democracy Research Hub Monash University
- #IndonesiaGelap mencapai 3 juta cuitan dari 104.000 akun unik, sementara #IndonesiaTerang hanya memiliki 2.209 cuitan dari 1.978 akun
- Pejabat pemerintah seperti Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Juru Bicara Kantor Kepresidenan Hariqo Wibawa Satria aktif mendukung narasi #IndonesiaTerang
Yogyakarta, IDN Times - Tim dari Data & Democracy Research Hub Monash University melakukan analisa terhadap sejumlah tagar di platform X (dahulu Twitter) selama berlangsungnya aksi protes masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pekan lalu.
Seperti diketahui, sejak 17 Februari 2025, gelombang demonstrasi mahasiswa terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Aksi ini berawal dari kritik terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam seratus hari pertamanya, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), efisiensi anggaran, dan proyek investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Pemangkasan anggaran sebesar Rp750 triliun yang awalnya diduga untuk mendanai MBG, kini dikaitkan dengan rencana Danantara yang mengelola aset negara senilai Rp14.715 triliun.
Kritik terhadap kebijakan pemerintah meluas di media sosial, khususnya platform X, dengan tagar #IndonesiaGelap yang mencapai 3 juta cuitan dari sekitar 104.000 akun unik. Sebagai respons, muncul narasi tandingan dengan tagar #IndonesiaTerang, yang didukung oleh pejabat publik dan politisi, meskipun hanya memiliki 2.209 cuitan dari 1.978 akun.
1. Analisis narasi di media sosial

Penelitian dari Data & Democracy Research Hub (MDDRH), Monash University Indonesia, menunjukkan bahwa tagar #IndonesiaTerang memiliki volume percakapan yang jauh lebih kecil dibandingkan #IndonesiaGelap. Namun, narasi ini tetap terlihat dominan karena didorong oleh pejabat pemerintah dan akun politisi.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (@RajaJuliAntoni) menjadi salah satu pemengaruh utama dengan cuitan yang menekankan optimisme dan efisiensi anggaran. Salah satu cuitannya berbunyi, “Terlalu banyak alasan yang bisa dibuat-buat untuk memantik pesimisme. Cukup satu alasan saja untuk memicu optimisme Indonesia akan semakin baik. #GenerasiOptimis #IndonesiaTerang @psi_id @Gerindra”. Cuitan ini hanya dibagikan 106 kali, namun menjangkau sekitar 274 ribu pengguna.
Selain Raja Juli, Juru Bicara Kantor Kepresidenan Hariqo Wibawa Satria (@hariqosatria) juga aktif mencuit tentang keberhasilan penghematan anggaran disertai tagar #IndonesiaTerang. Meskipun beberapa cuitannya hanya mendapat sedikit interaksi, mereka tetap menjangkau ribuan pengguna.
2. Respons terhadap kritik publik

Co-Director MDDRH, Ika Idris, menyoroti bahwa aksi protes di media sosial adalah bentuk partisipasi publik dalam kebijakan negara. "Alih-alih menggunakan kritik publik sebagai masukan yang berharga, pemerintah justru menangkis kritik tersebut dengan membangun narasi tandingan dengan tagar #IndonesiaTerang," tegasnya melalui keterangan tertulis, Minggu (23/02/2025).
Pemerintah juga menanggapi tagar lain seperti #KaburAjaDulu—yang mencerminkan kekecewaan publik—dengan menciptakan tagar #PergiMigranPulangJuragan, usulan dari Raffi Ahmad, Utusan Khusus Presiden Bidang Generasi Muda dan Pekerja Seni. Langkah ini memicu kritik karena dianggap meremehkan keresahan masyarakat.
3. Upaya memengaruhi opini publik

Fenomena penggunaan tagar tandingan bukanlah hal baru. MDDRH mencatat pola serupa dalam aksi protes sebelumnya, seperti penggunaan tagar #indonesiabaikbaiksaja dan #RUUperampasanaset untuk menandingi #PeringatanDarurat. Strategi ini umumnya bertujuan mengalihkan opini publik atau melemahkan kritik terhadap pemerintah.
Dalam kasus #IndonesiaTerang, meskipun volume cuitannya kecil, kehadiran pejabat dan politisi dalam kampanye ini berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. “Ketika kritik ditanggapi dengan narasi tandingan alih-alih refleksi kebijakan, ini justru dapat memperburuk persepsi masyarakat terhadap pemerintah,” pungkas Ika.
Dalam gelombang aksi demo pekan lalu dan masih berlanjut hingga Senin (24/2/2025) malam di Makassar, Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan 28 tuntutan kepada pemerintah terkait berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik. Mereka mendesak pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis, serta menolak pemangkasan anggaran pendidikan.
Selain itu, mereka meminta pencopotan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merugikan masyarakat, serta menolak revisi UU Minerba yang dianggap menguntungkan korporasi.Tuntutan lainnya mencakup penghapusan peran ganda ABRI, pengesahan RUU Masyarakat Adat, serta pencabutan Inpres 1/2025 yang memotong anggaran sektor penting.
Mereka juga menyerukan evaluasi program makan bergizi gratis, realisasi tunjangan kinerja dosen ASN, dan penerbitan Perppu perampasan aset oleh Presiden Prabowo.Koalisi juga menolak revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan, menuntut reformasi Polri, peningkatan kesejahteraan pekerja kampus, serta perlindungan kebebasan pers dan hak berekspresi.
Mereka mendesak penghentian operasi militer di Papua, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, serta penghapusan threshold dalam UU Politik.Selain itu, mereka meminta evaluasi UU Pekerja Migran, revisi RUU KUHAP, serta pengakuan hak kelompok marginal. Mereka menegaskan pentingnya akses inklusif bagi disabilitas serta penghapusan kekerasan terhadap perempuan.