Tamu yang menginap di homestay di kawasan Borobudur. (Dok. Istimewa)
Berkat pelayanan yang ia terapkan, banyak tamu yang kembali menginap bahkan merekomendasikan homestay miliknya ke orang lain. “Sampai sekarang saya tidak pernah pasang iklan, semua tamu datang hanya dari rekomendasi atau getok tular,” jelasnya.
Homestay milik Neni berdiri di lahan seluas 2.000 meter persegi dengan total 13 kamar dan beberapa pendopo joglo. Setiap kamar dibanderol Rp250 ribu per malam, lengkap dengan AC dan ekstra bed. Ia pun mengaku tak pernah menaikkan harga, bahkan saat libur panjang atau Lebaran sekalipun.
Untuk urusan memasak, Neni mengandalkan Jaringan Gas (Jargas) dari PGN. Ia menyebut, tagihan gas bumi per bulan rata-rata mencapai Rp360 ribu, jumlah tertinggi di antara pelanggan lain di desanya. “Saya memang pelanggan terbanyak memakai jargas PGN. Habis sekian tergolong hemat dibandingkan saya memakai gas tabung,” tutupnya.
Hal serupa juga dirasakan Eni Sutrisnowati, pemilik homestay lainnya di kawasan Borobudur. Meski kamar-kamarnya tidak dilengkapi AC, homestay miliknya selalu full booking. Dengan enam kamar yang tersedia, usahanya tetap tergolong laris.
Eni juga mematok harga yang sama, yakni Rp250 ribu per kamar. Untuk kebutuhan memasak sehari-hari, ia mengandalkan Jaringan Gas (Jargas) dari PGN. Meski memasak dalam jumlah banyak, ia hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp40 ribu per bulan.
Ia berharap Suadesa Festival yang menjadi bagian dari program CSR PGN bisa digelar secara rutin. “Karena dampaknya sangat positif, terutama bagi pelaku usaha seperti homestay, kuliner, dan lainnya,” ungkapnya.