Sejumlah kain dipamerkan dalam Royal Welcome Dinner ITMF/IAF, di Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Kamis (23/10/2025). (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Sri Sultan juga mengatakan di balik berbagai kemajuan, berbagai tantangan juga semakin nyata. “Kita berdiri di persimpangan jalan yang menentukan. Beberapa tantangan besar, telah menghadang di depan,” ujar Raja Keraton Yogyakarta itu.
Disebut Sultan, tantangan pertama, tekanan keberlanjutan yang multidimensi. Perubahan iklim tidak lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang menuntut transformasi radikal, dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular yang regeneratif. Tantangan ini tidak hanya tentang mengurangi limbah, tetapi juga menekan konsumsi air yang masif, polusi mikroplastik, dan emisi karbon dari rantai produksi global.
Kedua, disrupsi digital dan kesenjangan teknologi. Revolusi Industri 4.0 membawa otomasi, AI, dan blockchain yang mengubah lanskap produksi. Namun, jurang antara perusahaan besar dan UMKM yang kesulitan mengakses teknologi, justru semakin melebar. Ini berpotensi menciptakan kesenjangan, yang mengancam keberlangsungan pelaku industri tradisional.
Ketiga, kompleksitas rantai pasok global. Di satu sisi, rantai pasok global memungkinkan efisiensi. Di sisi lain, menciptakan kerentanan terhadap guncangan, mulai dari pandemi, konflik geopolitik, hingga fluktuasi harga bahan baku global. Ketergantungan pada satu wilayah, atau negara tertentu terbukti berisiko, mendesak kebutuhan untuk membangun jaringan, yang lebih resilien dan terdiversifikasi.
“Keempat, transparansi dan tuntutan etika. Generasi muda, tidak hanya peduli pada produk akhir, tetapi pada seluruh value chain, mulai dari sumber bahan baku, kondisi kerja yang manusiawi, hingga jejak karbon. Tekanan untuk menerapkan full supply chain transparency dan mematuhi prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) menjadi semakin kuat dan tak dapat ditawar lagi,” ungkap Sri Sultan.