Ilustrasi hakim di pengadilan. (IDN Times/Sukma Shakti)
ARDY sebelumnya mendesak Sultan untuk mencabut Pergub tersebut karena isinya dinilai mengancam kehidupan demokrasi di DIY ke depannya.
Pasal yang digarisbawahi ARDY antara lain, Bab II Pasal 5 tentang lima lokasi ruang terbuka yang dikecualikan atau dilarang menjadi lokasi aksi demonstrasi. Meliputi Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Malioboro, dan Kotagede dengan radius 500 meter dari pagar atau titik terluar. Waktu untuk melakukan aksi demo pun kini dibatasi dari pukul 06.00-18.00 WIB.
Pergub tersebut juga mengatur pelibatan TNI untuk mengurus pengendalian penyampaian kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ada tiga peran TNI dalam urusan ini, yaitu koordinasi, baik sebelum, pada saat, dan setelah penyampaian pendapat berlangsung, serta pemantauan dan evaluasi.
Meski peran TNI yang dihidupkan kembali dalam Pasal 10-13 pergub itu sudah ditiadakan pasca-reformasi 1998 dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Bahwa tugas tentara hanyalah mengurusi pertahanan dengan melindungi keutuhan dan kedaulatan negara. Bukan lagi mengurusi urusan sipil politik.
Sultan mempersilakan mereka yang tak setuju dengan substansi Pergub ini untuk menggugat dirinya ke PTUN. Ia bakal menerima apapun hasil keputusan sidang.
"Gak ada masalah (digugat). Jadi keputusan itu keputusan pengadilan. Apapun keputusannya aku manut tapi, dasarnya ada. Kalau saya terus nyabut (Pergub), nanti Menteri Pariwisatanya negur aku, kok tidak melaksanakan. Kleru meneh," pungkasnya.