Ilustrasi wisuda (IDN Times/Mardya Shakti)
Prama menempuh pendidikan S1 di program studi Kartografi dan Penginderaan jauh di Fakultas Geografi UGM pada tahun 2004 dan berhasil lulus di tahun 2008 dengan total masa studi 3 tahun 11 bulan. Menjalankan studi dengan waktu yang tergolong singkat bukan berarti menjadi mahasiswa kutu buku.
Dengan pengelolaan waktu yang baik ia menjalani rutinitas seperti mahasiswa pada umumnya yang masih bisa berkumpul dengan teman-teman, nge-band, mengikuti UKM, bahkan menjadi asisten praktikum dan asisten penelitian dosen.
Setelah lulus sarjana, ia langsung melanjutkan S2 di program studi Geografi dengan minat MPPDAS di Fakultas Geografi UGM pada tahun 2008 dengan memanfaatkan Beasiswa Unggulan Dikti. Sembari S2, ia bergabung menjadi asisten di Pusat Pendidikan Interpretasi Citra dan Survei Terpadu (PUSPICS). Setelah lulus S2, ia mendapatkan tawaran beasiswa doktoral dari program CNRD (Centers for Natural Resources and Development) melalui pendanaan dari DAAD Jerman.
Tawaran itu pun tak ia lewatkan dengan mengambil program Doktor Geografi minat Penginderaan Jauh di Fakultas Geografi joint program dengan Cologne University of Applied Sciences, Jerman. “Jadi saya melamar jadi dosen di Fakultas Geografi saat tengah menempuh pendidikan S3,” ujarnya.
Prama memutuskan melamar menjadi dosen karena profesi tersebut sesuai dengan karakteristiknya sebagai pribadi yang suka melakukan eksplorasi. Tak hanya itu, ia juga gemar bercerita dan berbagi pengalaman, serta senang bertemu dengan orang-orang baru. “Ya, karena saya orangnya suka eksplore, berpikirnya kalau tidak jadi peneliti ya dosen. Namun setelah dipikir-pikir, kalau jadi peneliti pasti ada masa bosannya meneliti terus, sementara kalau dosen kan bisa tridharma, ya meneliti, melaksanakan pendidikan, dan pengabdian masyarakat, jauh lebih berwarna,” paparnya.
Suami dari Rani Hendriana, dan ayah dari Muhammad Syandanadipa Justice Almortaza menyampaikan bahwa sejak menempuh pendidikan doktoral, ia banyak meneliti terkait pengembangan metode penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun sebagai penyerap karbon. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan hotspot padang lamun dunia, termasuk salah satu negara dengan jumlah spesies lamun terbanyak di dunia. Sementara, padang lamun memiliki potensi untuk menyerap dan mengubur karbon hingga 35 kali lebih efisien daripada hutan tropis.
Hanya saja, saat ini belum ada data pasti terkait luasan padang lamun di tanah air karena setiap institusi melakukan pemetaan dengan cara dan metode masing-masing. Melihat potensi dan kondisi tersebut, ia saat ini menjadi koordinator pemetaan padang lamun nasional berkolaborasi dengan BRIN, KKP, BIG, Universitas Hasanuddin, serta The University of Queensland. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan metode otomatisasi pemetaan stok karbon atas permukaan padang lamun dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2.