Sesajen, Bentuk Tradisi Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia

Sudah ada sejak sebelum zaman Hindu-Buddha

Sleman, IDN Times - Belakangan, publik dihebohkan dengan ulah seorang pria yang menendang sesajen di Lumajang. Bahkan, polisi pun sampai turun tangan mengamankan pemuda tersebut setelah video penendangan sesajen viral di media sosial.

Lalu, apakah sesajen itu, dan bagaimana pandangan pakar filsafat mengenai hal ini? Berikut penjelasan dari Dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Sartini.

Baca Juga: Rektor UIN Sunan Kalijaga Minta Penendang Sesajen Dimaafkan

1. Sudah ada sebelum adanya agama Hindu dan Buddha

Sesajen, Bentuk Tradisi Kearifan Lokal Masyarakat IndonesiaIlustrasi sesajen. (IDN Times/Rehuel Willy Aditama)

Sartini menjelaskan, di masyarakat tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan baik kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, nenek moyang, maupun makhluk yang tidak kelihatan. Di Indonesia, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Budha. 

"Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri,” ungkapnya.

Sartini mengatakan, di Tanah Air sendiri, kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini. Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, atau leluhur. Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan, atau hewan juga sering dianggap mempunyai roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya. 

Dia mengatakan, sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara. Kepercayaan ini mungkin sulit dibedakan dengan pemahaman bahwa ada makhluk tidak kelihatan yang juga hidup bersama manusia, tempatnya bisa di mana saja, gunung, laut, dan lainnya.  Makhluk ini juga dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu sehingga juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya. 

"Tradisi membuat sesaji dapat menjadi bagian bentuk masih adanya kepercayaan tersebut. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama makhluk yang tidak kelihatan tersebut. Melakukan sesaji adalah salah satu caranya,” katanya.

2. Sering disebut dengan ubo rampe

Sesajen, Bentuk Tradisi Kearifan Lokal Masyarakat IndonesiaSesaji untuk peringatan Haul Sultan Agung di Masjid Agung Keraton Solo. Dok. Humas LDA Keraton Solo

Sartini mengungkapkan, di Jawa, sesajen ini sering disebut ubo rampe atau kelengkapan. Sementara di Lumajang, bila itu sebagai tradisi masyarakat setempat, mungkin saja orang yang melakukan sesajen menganggap Semeru sebagai makhluk yang memiliki kekuatan dan berharap agar Semeru tidak murka lagi. 

“Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada  Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,” terangnya.

Namun demikian, menurutnya di lingkungan Islam, fenomena sesajen memunculkan banyak tafsir. Pandangan intinya adalah bahwa sesajen yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang.

Sekalipun demikian, masih ada pandangan yang agak memberi peluang hal dibolehkannya sesajen. Orang yang membolehkan mungkin berpandangan melakukannya sebagai sekadar tradisi dan niat permohonannya tetap kepada Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah. Alasannya, karena niat permohonannya ditujukan kepada Allah. 

"Masalahnya adalah, tidak bisa orang  memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial,” terangnya.

3. Merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup

Sesajen, Bentuk Tradisi Kearifan Lokal Masyarakat IndonesiaUpacara adat Tolak Bala Passiliq di Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Lebih lanjut, Sartini menilai jika keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesajen merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasi agama dan tradisi, hibridisasinya mungkin dapat dilakukan dengan menyosialisasikan makna simbolnya sehingga orang tidak memahaminya sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila sesuatu tidak dilakukan maka akan menyebabkan hal-hal tertentu. 

“Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan bahkan materialistik,” paparnya.

Selain itu, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman. Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya sehingga tidak akan mudah memaksa orang lain untuk sama dengan dirinya.

Baca Juga: Ini Kronologi Penangkapan Penendang Sesajen Gunung Semeru

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya