Pusham UII: Jaksa Agung Tak Punya Kewenangan Putuskan Kasus Semanggi 

Yang berhak memutuskan adalah pengadilan

Sleman, IDN Times - Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Islam Indonesia, Eko Riyadi menyebut Jaksa Agung tidak memiliki kewenangan untuk mengatakan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II masuk dalam pelanggaran HAM berat atau ringan.

Menurut Eko yang berhak memutuskan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II adalah hakim di pengadilan, karena sebelumnya Jaksa Agung Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR menyebut bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

"Komentar Jaksa Agung harus diseriusi, itu adalah pandangan Jaksa Agung sebagai jaksa, atau mencerminkan sikap pemerintahan yang notabene adalah sikap presiden. Harus dikejar itu," ungkapnya saat dihubungi pada Senin (20/1).

 

Baca Juga: Mengenang Tragedi Semanggi II: Detik-Detik Jelang Kematian Yun Hap

1. Ada dua syarat kasus Semanggi bisa dibawa ke pengadilan

Pusham UII: Jaksa Agung Tak Punya Kewenangan Putuskan Kasus Semanggi Petristiwa Semanggi 1998. Sumber: Wikipedia

Lantaran kasus tersebut terjadi sebelum tahun 2000 maka untuk menentukan apakah kasus tersebut bisa dibawa ke pengadilan atau tidak harus memenuhi dua persyaratan.

"Pertama, harus mendapatkan rekomendasi politik dari DPR, namun bukan rekomendasi hukum. Kedua, jika sudah mendapatkan rekomendasi politik dari DPR, presiden akan mengeluarkan keputusan untuk mendirikan pengadilan HAM Ad Hoc khusus untuk menangani kasus tersebut," terangnya.

Eko menyebutkan berkas kasus yang dikirimkan ke DPR  pada saat yang bersamaan harus diberikan juga ke Jaksa Agung. Terdapat dua tafsir berdasarkan ketentuan UU 26 tahun 2000. Pertama Jaksa Agung begitu jika sudah menerima dokumen penyelidikan dari Komnas HAM harus melakukan penyidikan sambil menunggu proses politik di DPR dan proses administratif di kantor kepresidenan

"Tapi Jaksa Agung menggunakan tafsir kedua, karena keputusan politik dari DPR belum ada, karena kebijakan administratif dari presiden untuk mendirikan pengadilan ad hoc tidak ada. Maka mereka tidak melakukan penyidikan," jelasnya.

2. Menurut Eko sudut pandang kejaksaan keliru

Pusham UII: Jaksa Agung Tak Punya Kewenangan Putuskan Kasus Semanggi Jaksa Agung ST Burhanuddin Konpers Soal Jiwasraya, Rabu (18/12) (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Menurut Eko, sebelumnya di tahun 2005 Komnas HAM sudah mengumumkan bahwa telah terjadi praktik Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) pada peristiwa Semanggi I dan Semanggi II. Namun selama ini kejaksaan selalu berlindung di balik tafsir kedua. Dia memandang jika apa yang dilakukan oleh kejaksaan keliru.

"Saya berpandangan bahwa kejaksaan keliru, karena kalau Keppres mendirikan pengadilan HAM Ad Hoc sudah ditandatangani, baru dilakukan penyidikan, kapan pengadilan bisa dilakukan. Karena harus menunggu waktu sangat lama untuk penyidikan. Tetapi kalau kejaksaan agung sudah melakukan penyidikan, begitu Keppres dibuat langsung persidangan bisa dilakukan," katanya.

 

3. Yang berhak memutuskan pengadilan

Pusham UII: Jaksa Agung Tak Punya Kewenangan Putuskan Kasus Semanggi Ilustrasi pengadilan. IDN Times/Sukma Shakti

Eko menyebabkan, sebelumnya kasus Semanggi sudah pernah diselidiki oleh Komnas HAM, dan Komnas HAM sudah memutuskan bawa ada indikasi terjadi pelanggaran HAM berat. Menurut kewenangan Komnas HAM hanya bertugas untuk melakukan penyelidikan, maka Komnas HAM tidak bisa menyebut siapa pelaku maupun tersangka.  Karena yang berhak mengatakan dan memutuskan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II adalah pengadilan.

"Jaksa Agung sampai Menkopolhukam sendiri tidak berhak untuk mengatakan peristiwa tersebut masuk dalam pelanggaran berat atau ringam."

Baca Juga: Dua Dekade Tragedi Semanggi, Ibu Ini Masih Mencari Keadilan untuk Anaknya

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya