Hak Perempuan Pekerja Informal Masih Terabaikan meski Mendominasi

UU dan perda belum lindungi perempuan pekerja informal

Sleman, IDN Times - Jumlah pekerja perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendominasi dibandingkan dengan kelompok pekerja yang lain. Salah satu sektor pekerjaan yang didominasi oleh pekerja perempuan adalah sektor pekerja informal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja sektor informal didominasi oleh pekerja perempuan dengan persentase 57,35 persen. Lalu, pada 2020, perempuan pekerja di sektor informal di DIY juga mengalami kenaikan dengan total perempuan pekerja sebanyak 604.681 orang.

Meskipun mendominasi, hingga kini masih banyak permasalahan yang terjadi kepada pekerja informal perempuan. Keberadaan UU No. 13 Tahun 2003 dan Perda No. 13 Tahun 2009 pun dianggap masih belum mengakomodasi perlindungan hak pekerja sektor informal, terutama di wilayah DIY.

1. Keberadaan perempuan pekerja informal dianggap ada dan tiada

Hak Perempuan Pekerja Informal Masih Terabaikan meski MendominasiOnline Talk Show Yogyakarta Berkeadilan Bagi Pekerja Perempuan: Aktualisasi Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Sektor Informal yang diadakan oleh Alsa Care pada Sabtu (13/11/2021). Dok: istimewa.

Direktur Eksekutif YASANTI, yang merupakan organisasi yang berfokus pada isu perempuan terutama pekerja perempuan, Amin Muftiyanah, mengatakan banyak hak pekerja perempuan khususnya pekerja informal perempuan yang hingga saat ini tidak didapatkan. Saat ini, kata Amin Muftiyanah, keberadaan mereka dianggap ada dan tiada.

Ia menjelaskan meskipun saat ini kurang lebih ada 57 persen pekerja perempuan informal, baik di Indonesia maupun internasional, mereka banyak yang tidak mendapatkan haknya.

"Salah satu pekerja informal yang kita dampingi adalah perempuan pekerja rumahan. Mereka bekerja dengan pengusaha atau majikan, kebanyakan usaha mikro, bahkan majikan sendiri masih saudara sendiri atau keluarga sendiri. Ini akan berdampak pada seringnya tidak terpenuhinya hak mereka," kata Amin Muftiyanah, dalam Online Talk Show Yogyakarta Berkeadilan Bagi Pekerja Perempuan: Aktualisasi Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Sektor Informal yang diadakan oleh Alsa Care pada Sabtu (13/11/2021).

Baca Juga: ALSA Charity & Social Event, Dukungan untuk Anak yang Hidup dengan HIV

2. Hak-hak yang seringkali tidak didapatkan oleh pekerja perempuan informal

Hak Perempuan Pekerja Informal Masih Terabaikan meski MendominasiOnline Talk Show Yogyakarta Berkeadilan Bagi Pekerja Perempuan: Aktualisasi Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Sektor Informal yang diadakan oleh Alsa Care pada Sabtu (13/11/2021). Dok: istimewa.

Amin mengungkapkan pekerja rumahan sendiri belum terakomodir dalam kategori pekerjaan di UU 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Untuk itu, ada sejumlah hak yang memang tidak didapatkan oleh mayoritas pekerja perempuan informal. Seperti halnya hak mendapatkan cuti, hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak, hak pensiun, jaminan sosial maupun kesehatan, maupun bantuan-bantuan sosial.

"Kondisi tidak diakomodir oleh undang-undang tentu berdampak pada upah yang lebih rendah. Selain itu, karena tidak diakui juga maka sulit untuk menuntut pemerintah atau pemberi kerja tentang akses jaminan perlindungan kerja, pensiun apa lagi," katanya.

3. Sejumlah kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja informal

Hak Perempuan Pekerja Informal Masih Terabaikan meski MendominasiOnline Talk Show Yogyakarta Berkeadilan Bagi Pekerja Perempuan: Aktualisasi Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Sektor Informal yang diadakan oleh Alsa Care pada Sabtu (13/11/2021). Dok: istimewa.

Kepala Seksi Perlindungan Perempuan Bidang PPA Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, Yohana Santi Roestriyani,  mengungkapkan ada sejumlah faktor yang mendorong perempuan bekerja di sektor informal. Seperti halnya adanya dukungan keluarga, kebutuhan keluarga yang semakin banyak, pendapatan rumah tangga yang rendah, memanfaatkan waktu luang maupun aktualisasi diri.

Namun demikian, ada sejumlah kerentanan yang harus dihadapi oleh perempuan pekerja informal, seperti halnya bekerja tanpa proteksi sosial dan hukum, tidak mendapatkan dana pensiun, tidak mendapatkan cuti, tidak mendapatkan asuransi kesehatan, mendapatkan upah yang relatif rendah, ada perbedaan upah antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan pada bidang kerja yang sama, maupun rentan beberapa kekerasan di dunia kerja.

"Ada sejumlah permasalahan yang dihadapi, yakni mereka kebanyakan ditempatkan pada bidang yang tidak memerlukan pendidikan atau keterampilan khusus, ini berpengaruh ke upah. Lalu, tenaga kerja perempuan rawan pelecehan seksual lingkungan kerja," katanya.

Untuk mengatasi hal tersebut, di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah dikeluarkan sejumlah regulasi untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja perempuan informal. Seperti Peraturan Gubernur No 31 Tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga, Perda No 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di DIY maupun Perda No 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

"Perempuan yang bekerja di sektor informal rentak kepada kekerasan apapun, yang lebih mengerikan dan sering terjadi adalah kekerasan seksual. Jika ada, maka akan kita lindungi dengan Perda No 3 Tahun 2012. Selain itu, sektor informal juga rentan perdagangan perempuan, baik di negara kita sendiri maupun di luar negeri," katanya.

4. UU Ketenagakerjaan tidak 100 persen bisa memberikan perlindungan

Hak Perempuan Pekerja Informal Masih Terabaikan meski MendominasiOnline Talk Show Yogyakarta Berkeadilan Bagi Pekerja Perempuan: Aktualisasi Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Sektor Informal yang diadakan oleh Alsa Care pada Sabtu (13/11/2021). Dok: istimewa.

Sementara itu, Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Rizfa Izzati mengungkapkan, meskipun di dalam undang-undang ketenagakerjaan ada perlindungan khusus terhadap perempuan, yang di dalamnya dimasukkan dalam kelompok rentan, namun undang-undang tersebut tidak 100 persen bisa memberikan perlindungan yang utuh ke pekerja perempuan.

Berkaca pada saat pandemik COVID-19, pekerja perempuan lebih terdampak dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hal ini lantaran banyak pekerja perempuan yang di-PHK, yang salah satunya dianggap bukan penopang keluarga.

"Selain itu, buruh perempuan lebih banyak berada di sektor informal, di mana pekerja di sektor informal jauh lebih terdampak pandemik karena tidak adanya social protection," katanya.

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya