Ilustrasi sesajen. (IDN Times/Rehuel Willy Aditama)
Sartini menjelaskan, di masyarakat tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan baik kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, nenek moyang, maupun makhluk yang tidak kelihatan. Di Indonesia, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Budha.
"Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri,” ungkapnya.
Sartini mengatakan, di Tanah Air sendiri, kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini. Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, atau leluhur. Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan, atau hewan juga sering dianggap mempunyai roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya.
Dia mengatakan, sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara. Kepercayaan ini mungkin sulit dibedakan dengan pemahaman bahwa ada makhluk tidak kelihatan yang juga hidup bersama manusia, tempatnya bisa di mana saja, gunung, laut, dan lainnya. Makhluk ini juga dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu sehingga juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya.
"Tradisi membuat sesaji dapat menjadi bagian bentuk masih adanya kepercayaan tersebut. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama makhluk yang tidak kelihatan tersebut. Melakukan sesaji adalah salah satu caranya,” katanya.