Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Seni dan Sensor di Dinamika Sosial Politik Bagaimana Jalan Keluarnya?

Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) Indonesia ke-20 bertajuk Garis Batas Kreativitas: Penyensoran dan Kebebasan Ekspresi Seni di Indonesia, Jumat (21/3/2025). (Dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Sensor terhadap seni sudah berlangsung lama di Indonesia, tercermin dalam karya-karya seni dari tokoh seperti Iwan Fals, Pramoedya Ananta Toer, hingga R.A. Kartini.
  • Seniman menggunakan seni abstrak dan simbolis sebagai alat perlawanan terhadap sensor saat ini, dengan merumuskan karya-karya seni mereka dalam bentuk metafora.
  • Peran relasi komunitas seni lokal dan global, media, hingga festival sebagai ruang alternatif yang memperkuat solidaritas antar-seniman dan menjaga kebebasan berekspresi.

Yogyakarta, IDN Times – Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti isu kebebasan berekspresi dalam dunia seni Indonesia dalam Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) Indonesia ke-20 bertajuk Garis Batas Kreativitas: Penyensoran dan Kebebasan Ekspresi Seni di Indonesia, Jumat (21/3/2025). 

Diskusi ini menghadirkan dua narasumber yakni Irham Nur Anshari (Dosen FISIPOL UGM) dan Hernandes Saranela (Seniman Yogyakarta), serta dimoderatori Syifa Maulida Hajiri (Mahasiswa S2 UGM). Dalam forum daring ini, kedua narasumber mengupas tuntas bagaimana seni dan sensor saling berkelindan dalam dinamika sosial-politik Indonesia.
 

 

1. Sensor terhadap seni sudah lama terjadi

Gedung Fisipol UGM. (IDN Times/Febriana Sinta)

Hernandes Saranela mengungkap dalam sejarahnya, sensor terhadap seni sudah ada sejak lama, sebagaimana tercermin dalam karya-karya seni dari tokoh seperti Iwan Fals, Pramoedya Ananta Toer, hingga R.A. Kartini. Menurutnya, sensor bukan semata-mata ancaman, melainkan bisa menjadi filter yang mempertajam ide.

Dalam menghadapi proses sensor saat ini, ia melihat seni abstrak dan simbolis menjadi alat perlawanan pada seniman. "Mereka tidak langsung menunjukkannya secara gamblang. Karya-karya seni mereka dirumuskan dalam bentuk metafora sehingga menjadi lebih menarik," ujarnya.

Hernandes menegaskan seniman idealnya memiliki kesadaran diri terhadap karya dan dampaknya, serta mampu mengemas pesan seni secara baik untuk menghindari pembredelan tanpa kehilangan substansi.

2. Pergeseran mekanisme sensor di era digital

Ilustrasi seseorang sedang memantu algoritma. (Pexel/Ahmed)

Sementara Irham Nur Anshari memaparkan adanya pergeseran mekanisme sensor di era digital. Ia menjelaskan fenomena techno-surveillance, yakni praktik pengawasan konten publik melalui teknologi digital. Salah satu bentuknya adalah penggunaan algoritma mesin yang menyaring bahasa atau konten yang dianggap sensitif.

Selain itu, ia menyoroti bagaimana sensor saat ini tidak hanya dilakukan oleh institusi pemerintah (sensor vertikal), tetapi juga oleh tekanan kelompok sipil atau masyarakat (sensor horizontal), yang justru memainkan peran lebih dominan.

“Sensor vertikal dan horizontal ini terkadang bisa bermesraan atau, sebaliknya, saling bertentangan. Bahwa fenomenaself-censorship menjadi tantangan besar ketika seniman, kurator, hingga sponsor secara halus mulai mengatur batas-batas kreativitas,” ungkapnya.

 

3. Berbagai hal dibahas dalam diskusi

Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) Indonesia ke-20 bertajuk Garis Batas Kreativitas: Penyensoran dan Kebebasan Ekspresi Seni di Indonesia, Jumat (21/3/2025). (Dok. Istimewa)

Diskusi juga menyinggung peran relasi komunitas seni lokal dan global, media, hingga festival sebagai ruang alternatif yang memperkuat solidaritas antar-seniman dan menjaga kebebasan berekspresi. Seniman tidak pernah benar-benar bebas dalam berkreasi seni karena terikat norma dan etika. Strategi kolaborasi antara seniman, media, dan komunitas bisa menjadi jalan keluar dalam menyiasati atau melawan sensor.

Melalui diskusi ini, Dikom UGM ingin memberikan ruang dialog yang hangat mengenai bagaimana seni tetap bisa hidup di tengah arus sensor dan tekanan sosial. Para peserta diajak merenungkan ulang peran etika, norma, serta kesadaran diri dalam menciptakan karya yang jujur dan bermakna. Diskoma ke-20 ini menegaskan bahwa seni di tengah berbagai bentuk kontrol, selalu menemukan jalannya untuk berbicara.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us