Yogyakarta, IDN Times - Relawan bisa tidur di bawah pukul. 01.00, menurut pendiri Sambatan Jogja (Sonjo) Rimawan Pradiptyo adalah sebuah kemewahan. Sementara rata-rata relawan bertugas di lapangan sampai Subuh. Apalagi ketika masa lonjakan pasien COVID-19 sedemikian drastis di Yogyakarta, terutama akibat serangan varian delta. Dalam sehari bisa ada 100 pemakaman dengan standar protokol kesehatan (prokes) infeksius. Belum lagi krisis oksigen mendera semua rumah sakit.
“Kami juga kontak-kontak pejabat. Itu pukul 10 malam,” kata Rimawan dalam diskusi Indonesia Rumah Kita bertajuk "Dari Relawan Jadi Pahlawan” yang digelar MQFM pada 17 Agustus 2021 siang.
Nyatanya tak ada pejabat yang menyahut. Asistennya pun mengabarkan si pejabat sudah tidur.
“Pejabat-pejabat yang punya SK, jam 10 sudah tidur. Itu bikin ilfeel. Kami yang gak punya SK, kerja gulung koming,” keluh Rimawan.
Relawan pun kewalahan. Peruktian jenazah dan pemakaman meningkat, pengantaran pasien ke rumah sakit pun membeludak. Tenaga dan pikiran para relawan pun terkuras. Tak sedikit relawan yang ikut tertular.
“Sebulan lalu, saya sampai katakan pada teman-teman untuk berhenti menolong. Mereka gak tidur. Permintaan bantuan demikian banyak,” ungkap Rimawan.
Dalam kondisi seperti itu, Rimawan melanjutkan, yang harus diutamakan adalah yang menolong. Keselamatan mereka harus diutamakan. Dan Rimawan mengontak organisasi-organisasi relawan pada tengah malam.
“Saya sampai bilang, stop it. Karena tiga hari itu gak ada berhentinya. Itu awal (penularan) virus delta naik,” kata Rimawan.
Menjadi relawan, tak selalu jadi sosok perkasa yang punya jiwa tegar dan fisik tahan banting. Sejumlah kisah drama nyata pun sempat menguras emosi.
Bagian pertama: Relawan Itu Tak Butuh SK, Hanya Perlu Tiga Huruf: MAU