Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
'Jangan biarkan ketidakadilan membuat acuh. Lawanlah dengan kebenaran'-pramoedya#bebaskankawanka.jpg
Aktivis SMI dan Aksi Kamisan Jogja, Paul. (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Rektor UII, Fathul Fahid, menjadi penjamin penangguhan penahanan untuk aktivis Paul yang ditahan oleh Polda Jatim.

  • Fathul menyatakan bahwa proses penangkapan Paul tidak transparan dan di luar prosedur hukum berlaku, serta menekankan pentingnya kritik terhadap pemerintah dalam negara demokrasi.

  • Fathul mengingatkan bahaya memperlakukan aktivis sebagai musuh negara karena hal ini dapat membuat masyarakat takut bersuara dan menutup ruang dialog konstruktif.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sleman, IDN Times - Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Fahid, mengajukan diri menjadi penjamin penangguhan penahanan untuk aktivis asal Yogyakarta, Muhammad Fakhrurrozi alias Paul. Paul sendiri oleh Polda Jatim kini telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penghasutan aksi demonstrasi berujung ricuh di Kediri, Jawa Timur, 30 Agustus 2025 lalu.

1. Fathul, para dekan hingga Busyro Muqoddas

UII serukan pembebasan aktivis yang ditahan. (instagram.com/uiibergerak)

Fathul bilang, dirinya mengajukan diri sebagai penjamin bersama sejumlah dekan di UII, direktur sejumlah pusat studi, juga Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas.

"Surat saya sampaikan ke LBH. Selain saya, ada Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, dekan, Direktur beberapa pusat studi, dan Pak Busyro Muqoddas," kata saat dihubungi Fathul, Jumat (3/10/2025).

2. Bersuara karena cinta pada negeri, bukan untuk lawan negara

Logo Universitas Islam Indonesia (UII). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Fathul termasuk salah satu yang prihatin atas penangkapan Paul. Baginya, proses oleh aparat tidak transparan dan di luar prosedur hukum berlaku.

"Karena itu, wajar kalau publik menilai penangkapan ini bukan demi menegakkan keadilan, melainkan lebih terasa sebagai upaya membungkam suara-suara kritis yang justru dibutuhkan bangsa ini," ujarnya.

Ia berpandangan, perbedaan pandangan dan kritik terhadap pemerintah merupakan hal wajar dan sehat dalam negara demokrasi. Apalagi, ini dijamin oleh konstitusi.

Tapi, lanjut Fathul, yang terjadi malah sebaliknya. Harapan publik kian terbatas, lembaga-lembaga negara sebagai penyeimbang kebijakan pemerintah tampak makin tumpul. Buntutnya, masyarakat sipil, macam aktivis, akademisi, jurnalis, mahasiswa, dan komunitas rakyat kecil, tinggal sedikit yang masih mau bersuara lantang.

"Mereka bersuara bukan karena ingin melawan negara, tapi karena cinta pada negeri ini, karena rindu pada Indonesia yang lebih baik. Mas Paul adalah salah satu dari barisan itu," tegasnya.

3. Bahaya terus memperlakukan aktivisi sebagai musuh negara

Sebuah mobil jadi sasaran massa aksi di Mapolda DIY, Sleman, Jumat (29/8/2025). (IDN Times/Herlambang Jati)

Kata Fathul, masih masih banyak aktivis lain, selain Paul yang menerima intimidasi dan kriminalisasi karena menggaungkan isu lingkungan, HAM, keadilan sosial, atau ketimpangan kebijakan ekonomi. Mereka berjuang menjaga nurani bangsa agar tetap hidup.

Ia melihat, apabila aktivis terus diperlakukan sebagai musuh negara maka cuma akan membuat masyarakat takut bersuara. Ruang dialog konstruktif pun segera tertutup rapat.

"Kalau ini dibiarkan, kita sedang menyiapkan panggung bagi lahirnya otoritarianisme atau kediktatoran baru, sesuatu yang pasti tidak kita inginkan hadir di Indonesia. Saya sangat yakin pemerintah saat tidak mau diberi label sebagai diktator baru," ujarnya.

Fathul pun menekankan, sudah selayaknya negara hadir untuk melindungi kebebasan warganya. Tanpa masyarakat sipil yang menopang dan berani bersuara, menurutnya, negara cuma akan dikelilingi bisu yang penuh basa-basi.

Oleh karenanya, Fathul mendesak supaya apatar segera membebaskan Paul dan para aktivis lainnya yang kini ditahan.

"Ini bukan hanya tentang satu orang, ini tentang hak kita bersama. Ini tentang menjaga agar Indonesia tidak kehilangan akal sehatnya, tidak kehilangan jiwanya. Karena tanpa keberanian masyarakat sipil, demokrasi hanyalah nama tanpa isi," pungkasnya.

Editorial Team