Sementara, lanjut Janu, pihaknya melihat berbagai layanan hemat dalam aplikasi hanyalah akal-akalan aplikator. Ketiadaan regulasi atau Undang-Undang membuat aplikator bisa menyederhanakan harga tanpa patokan yang pasti.
"Seumpama sekali orderan Rp5 ribu, lalu kami menerima double order, itu driver cuma dapat Rp7 ribu-Rp8 ribu, harusnya kan Rp5 ribu kali dua," keluhnya.
Sepenuturan Janu, keresahan para ojol tersebut juga telah disuarakan hingga Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kendati, klaim dia, sampai kini tak ada jawaban dan cenderung saling lempar.
"Dilempar ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) lalu Komdigi dilemparkan lagi ke Kemenhub," ungkapnya.
Harapannya, detail aturan angkutan transportasi daring juga bisa dibuat menyerupai Undang-Undang Pos, di mana dalam setiap pengiriman, perhitungannya didasarkan pada berat barang, dimensi dan sebagainya.
"Kasihan juga rekan-rekan ada yang bawa kulkas atau kasur bayarnya tetep sama. Padahal risiko di jalan lebih tinggi," beber Janu.
Sementara itu poin tuntutan ketiga yakni adanya ketentuan tarif bersih angkutan sewa khusus (ASK) roda empat. Kata Janu, aturan yang sekarang belum mencakup besaran potongan aplikasi, sehingga aplikator leluasa melakukan pemotongan tarif yang diperoleh pengemudi.
Tuntutan keempat atau terakhir yaitu mendorong hadirnya UU Transportasi Online di Indonesia demi menjamin berbagai macam aturan dan ketentuan baik pengemudi, pihak aplikator ataupun pemerintah terkait transportasi online.