Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang remaja duduk di kamar, membuka media sosial dengan wajah cemas (istockphoto.com/Dejan_Dundjerski)
ilustrasi seorang remaja duduk di kamar, membuka media sosial dengan wajah cemas (istockphoto.com/Dejan_Dundjerski)

Intinya sih...

  • Remaja rentan terpapar radikalisme lewat kecanduan game dan media sosial serta kondisi broken home.

  • Keluarga adalah lini pertama pencegahan, sekolah berperan dalam memperkuat literasi media, dan pemerintah harus memastikan regulasi berjalan efektif.

  • Rekrutmen teroris melalui media sosial merupakan masalah psikososial kompleks yang memerlukan tindakan terpadu dari keluarga, institusi pendidikan, hingga negara.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - Maraknya kasus rekrutmen teroris lewat media sosial dan platform digital menimbulkan kekhawatiran publik. Pola ini dipandang sebagai bentuk adaptasi baru kelompok radikal yang memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi.

Guru Besar Ilmu Komunikasi UMY sekaligus pakar psikologi komunikasi, Prof. Dr. Suciati, menjelaskan bahwa media digital memiliki tingkat interaktivitas tinggi, tidak dibatasi ruang dan waktu, serta mampu membangun kedekatan personal dengan cepat. Kondisi tersebut membuka peluang penyebaran ideologi radikal secara masif namun tersembunyi.

Brainwash yang dulu dilakukan secara offline, kini dapat terjadi melalui media digital. Ideologi radikalisme dan terorisme sangat mungkin menyusup ke dalam ruang-ruang online,” ujarnya, Sabtu (22/11/2025) dilansir laman resmi UMY.

1. Faktor utama yang bikin remaja rentan terpapar radikalisme

ilustrasi media sosial dan ruang publik digital (freepik.com/Freepik)

Suciati menjelaskan ada dua faktor utama yang membuat remaja rentan direkrut kelompok teroris, yakni kecanduan game atau media sosial serta kondisi broken home. Remaja yang kecanduan game umumnya mengalami perubahan perilaku, sulit mengatur waktu bermain, kurang tidur, dan lebih banyak hidup di dunia virtual. Ketika situasi ini diperburuk oleh kurangnya perhatian keluarga, mereka cenderung mencari kenyamanan di ruang digital.

“Mereka yang kecanduan dan berasal dari keluarga yang kurang perhatian sangat mudah diarahkan ke platform khusus yang memang didesain oleh para perekrut,” jelasnya.

Menurutnya, Generasi Z memiliki kecenderungan lebih individualistis dan nyaman beraktivitas dalam ruang privat. Kurangnya interaksi sosial membuat mereka bergantung pada komunitas digital, termasuk komunitas yang telah disusupi agenda radikalisme.

2. Keluarga adalah lini pertama pencegahan

ilustrasi obrolan remaja dan orang tua (pexels.com/cottonbro studio)

Dari perspektif psikologi komunikasi, Suciati menilai gejala awal radikalisasi digital sulit dikenali. Perubahan sikap dan pola pikir biasanya tidak terlihat hingga anak menunjukkan tindakan ekstrem.

“Contohnya kasus pelajar SMA di Jakarta yang beberapa waktu lalu melakukan percobaan peledakan bom. Tindakan itu baru muncul setelah remaja tersebut lama berinteraksi dengan kelompok radikal melalui platform game online,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa pencegahan tidak bisa dibebankan hanya pada keluarga, sekolah, atau pemerintah. Seluruh pihak harus bergerak dengan koordinasi yang komprehensif.

“Keluarga adalah lini pertama pencegahan. Orang tua perlu membangun hubungan yang harmonis, terbuka, empatik, dan suportif. Keluarga adalah significant others bagi anak. Jika keluarga tidak hadir, anak akan mencarinya di media sosial,” tuturnya.

Sekolah juga berperan dalam memperkuat literasi media agar siswa mampu menggunakan teknologi secara kritis dan tidak terjebak kecanduan. Sementara pemerintah harus memastikan regulasi berjalan efektif, termasuk pemblokiran game atau platform yang disinyalir disusupi jaringan radikal. Anak atau remaja yang terlanjur kecanduan juga perlu mendapatkan penanganan medis maupun rehabilitasi.

“Regulasinya harus jelas. Game yang tidak aman harus diblokir. Anak yang sudah kecanduan perlu diterapi,” tegas Suciati.

3. Masalah psikososial yang kompleks

ilustrasi remaja (pexels.com/Vitaly Gariev)

Suciati menambahkan bahwa rekrutmen teroris melalui media sosial bukan hanya persoalan teknologi, melainkan masalah psikososial yang lebih kompleks. Menurutnya, pencegahan yang efektif harus dilakukan secara terpadu, melibatkan keluarga, institusi pendidikan, hingga negara.

Dengan pola kolaboratif tersebut, ancaman radikalisasi digital diharapkan dapat ditekan sehingga generasi muda terlindungi dari manipulasi ideologi ekstrem yang kini semakin halus dan canggih.

Editorial Team