Ilustrasi bendungan. IDN Times/Dhana Kencana
Peneliti Ecosoc Institute, Sri Palupi sementara itu memaparkan hasil riset di luar negeri mengenai infrastruktur bendungan yang lebih banyak mendatangkan masalah ketimbang manfaat.
Menurut dia, masyarakat internasional telah membuktikan bahwa bendungan tak mampu menghasilkan energi dan mengirigasi daerah sebanyak yang diharapkan. Meski tak pernah melakukan audit, Sri mengaku pihaknya sempat meninjau bendungan di Kabupaten Buol yang justru menjadi sumber dari bencana banjir.
Fakta selanjutnya, dia melanjutkan, bendungan secara ekonomi tak layak dan secara ekologis tidak berkelanjutan karena bergantung pada tingkat endapan. Lalu, proyek bendungan telah terbukti menjadi sarana praktik korupsi. Terlebih, proses pelaksanaan pembangunannya jauh dari kata transparan.
Kemudian, bendungan menjadi pemicu begitu banyak bencana. Mulai dari ekologis hingga kemanusiaan. Pembangunan infrastruktur ini disebut telah melahirkan sederet pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan.
"Bendungan lebih banyak dinikmati industri dan masyarakat kota. Sementara warga pedesaan yang terdampak baik secara langsung atau tidak langsung itu tidak mendapatkan manfaat dari adanya bendungan. Bahkan, masyarakat yang terdampak oleh bendungan, itu semakin merosot kehidupannya baik itu masyarakatnya maupun lingkungannya," papar Sri secara daring dalam acara 'Mengungkap Realitas Keadilan di Desa Wadas', Kamis.
Fenomena masyarakat menolak pembangunan bendungan ini, kata Sri, sudah santer di dunia internasional. Alhasil, proyek-proyek macam ini mulai ditinggalkan oleh berbagai negara. Hak masyarakat terdampak dijunjung tinggi dan anggaran pendirian bendungan dipangkas. Namun, sebaliknya di Indonesia justru malah kian masif.
"Kalau kita lihat pemerintah (Indonesia) berencana untuk membangun 65 bendungan, itu luar biasa," kata Sri.