ilustrasi alat kontrasepsi (pexels.com/cottonbro studio)
'Aisyiyah juga mengkaji PP tersebut dari aspek substansi, dimana terdapat dua pasal yang menjadi sorotan. Pertama adalah Pasal 103 ayat 4 butir e, mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. Menurutnya, pasal ini secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah menyediakan pelayanan dan alat kontrasepsi untuk remaja atau pelajar.
"Yang menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan serta meningkatnya perilaku seks bebas di kalangan pelajar," tutur Salma.
Pandangan Salmah, ayat ini memberikan ruang pada anak usia sekolah dan remaja untuk mengakses alat kontrasepsi yang digunakan dalam melakukan hubungan seksual agar tidak berakibat kehamilan.
Selanjutnya Pasal 104 tentang upaya kesehatan sistem reproduksi dewasa, ayat (2) huruf b, mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi dewasa menyatakan jika pemberian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), paling sedikit mengenai perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab.
Salmah menekankan bahwa ayat ini multitafsir, bahwa ayat ini dapat dipahami tak hanya cuma dilakukan oleh pasangan suami istri, melainkan pasangan yang tidak terikat perkawinan.
"Jadi dari ketentuan tersebut tidak jelas apakah hubungan seks dilakukan di dalam pernikahan atau di luar pernikahan. Ketentuan ini dapat menimbulkan pemahaman tentang hubungan seksual di luar pernikahan atau melegalkan seks bebas," papar Salmah.
Sementara Pasal 104 Ayat (3), tentang pelayanan kesehatan reproduksi untuk usia dewasa, pada butir e, tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko juga dinilai multitafsir.
"Pasangan usia subur yang mendapat layanan alat kontrasepsi semestinya hanya pasangan suami istri yang terikat dengan perkawinan yang sah dan tercatat di depan pegawai pencatat nikah yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (1) dan (2)," terangnya.
Sorotan ketiga adalah mengenai ketentuan Pasal 103 ayat (4) huruf b, Pasal 104 ayat (2) huruf b, dan Pasal 129 ayat (2) huruf d yang disebutnya banyak menyimpang dari norma agama dan kesusilaan, lantaran memungkinkan terjadinya hubungan seksual di luar nikah atau seks bebas yang melanggar nilai-nilai moral dan agama serta merendahkan martabat manusia.
"Hal itu tidak sejalan atau kontradiktif dengan ketentuan Pasal 98 dari PP tersebut, yang menyatakan bahwa upaya kesehatan reproduksi harus dilaksanakan dengan menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia dan sesuai dengan norma agama," terangnya.