Ponpes Miftah Maulana Bantah Tuduhan Penganiayaan: Didramatisir

- Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji membantah dugaan penganiayaan terhadap santri berinsial KDR oleh 13 pengurus dan santri lain di ponpes.
- Kuasa hukum ponpes menegaskan gesekan antarsantri memang ada, namun bukan dalam bentuk aksi penganiayaan dan pengeroyokan sebagaimana ditudingkan pihak KDR.
- Peristiwa bermula dari temuan aksi vandalisme, laporan kehilangan uang dan barang-barang para santri, serta penjualan air galon kelolaan yayasan tanpa sepengetahuan ponpes.
Sleman, IDN Times - Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji, Kalasan, Sleman, DIY buka suara soal dugaan peristiwa penganiayaan di ponpes asuhan Pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman tersebut.
Pihak yayasan melalui kuasa hukumnya menampik adanya aksi penganiayaan terhadap santri berinsial KDR (23) oleh 13 pengurus dan santri lain di ponpes.
1. Klaim aksi spontan yang didramatisir

Adi Susanto selaku kuasa hukum ponpes memastikan tak seorang pun dari 13 orang tertuduh pelaku penganiaya berstatus pengurus pondok pesantren.
"Peristiwa ini pure murni antara santri dan santri," kata Adi di Kompleks Ponpes Ora Aji, Kalasan, Sleman, DIY, Sabtu (31/5/2025).
Adi pun menegaskan, gesekan antarsantri berupa kontak fisik memang ada. Tapi, bukan dalam bentuk aksi penganiayaan dan pengeroyokan sebagaimana ditudingkan pihak KDR.
"Kita pastikan ya, atas nama yayasan menyanggah soal adanya penganiayaan itu. Apa yang terjadi di pondok adalah aksi spontanitas saja dari santri ya, yang tidak ada koordinasi apapun," jelas Adi.
Menurutnya, tudingan bahwa korban oleh 13 santri dikeroyok, diikat bahkan disetrum terlalu melebih-lebihkan.
"Penganiayaan pengeroyokan itu tidak terjadi, tidak sedramatis itu. Peristiwanya tidak seperti itu. Itu pure murni layaknya teman-teman santri yang selama bersandingan ya setiap saat 24 jam bersama-sama. Jadi hanya itu saja," ungkapnya.
2. Bantah paksa mengaku

Semua peristiwa ini sendiri bermula dari temuan adanya aksi vandalisme di lingkungan ponpes. Kemudian, laporan kehilangan uang hingga barang-barang para santri. Serta, juga penjualan air galon kelolaan yayasan tanpa sepengetahuan ponpes.
Para santri menduga KDR pelakunya. Adi membantah 13 santri yang juga jadi kliennya itu melakukan kontak fisik untuk memaksa KDR mengakui perbuatannya.
"Akhirnya ditanyakanlah ya secara persuasif tidak ada pemaksaan seperti yang ada di media itu," ujarnya.
KDR akhirnya mengakui perbuatannya dan setelah itu 'aksi spontan' para santri muncul.
"Nah, (setelah pengakuan) aksi spontanitas itu muncul. Spontanitas loh ya. Muncul dalam rangka untuk menunjukkan satu effort. Sebenarnya lebih kepada rasa sayang saja. Ini santri kok nyolong toh, kira-kira begitu," bebernya.
"Tidak ada niatan untuk sampai mencelakai dan segala macam. Itu enggak ada," lanjut Adi.
3. Mediasi kandas

KDR beberapa hari setelahnya pergi meninggalkan ponpes tanpa pamit. Belasan santri tadi kemudian dipolisikan dan setelah serangkaian penyelidikan, Polresta Sleman menetapkan mereka sebagai tersangka.
Adi tak menyangkal 13 santri tadi masih bebas atas permohonan untuk tidak ditahan yang diajukan pihak penasehat hukum yayasan ponpes. Pasalnya, mereka berstatus santri aktif yang masih memerlukan pendidikan, selain empat orang di antaranya yang berstatus bawah umur.
Di lain sisi, klaim Adi, pihak yayasan sebelumnya juga sudah mencoba menempuh jalur mediasi. Pihaknya berupaya beritikad baik menawarkan sejumlah nominal uang sebagai kompensasi. Namun demikian, angkanya jauh dari permintaan pihak KDR sehingga beberapa kali upaya harus mediasi kandas.
"Pondok atau yayasan sekali lagi memfasilitasi dengan cara apa, tergerak secara moral dalam rangka untuk menanggung biaya pengobatan," kata Adi.
Lebih lanjut, Adi mengungkap bahwa salah seorang dari 13 santri tertuduh pelaku penganiayaan pada Maret 2025 telah melaporkan KDR ke kepolisian atas dugaan tindak pencurian uang senilai Rp700 ribu. KDR disebut belum mengembalikan bentuk kerugian yang dialami para santri sampai hari ini.