Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang anak laki-laki duduk di sebuah pos kamling yang ada di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Sleman, IDN Times - Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Rikardo Simarmata, menilai ada keanehan dalam proyek pembangunan bendungan Bendungan Bener yang ada di Purworejo, Jawa Tengah. Pasalnya, kegiatan pembangunan bendungan Bener yang masuk dalam kategori kepentingan umum dipaketkan dengan kegiatan pengambilan batu andesit yang merupakan usaha pertambangan. Padahal, itu tidak masuk dalam kategori kepentingan umum.

1. Pertanyakan pengambilan bebatuan di bawah tanah

Warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Rikardo menilai, pemaketan ini memang bisa membuat kegiatan pengukuran dalam rangka pengadaan tanah di lokasi tambang menjadi legal. Akan tetapi, dia mempertanyakan apakah memang Kementerian PUPR berwenang mengambil bebatuan di bawah tanahnya.

“Tapi apakah dengan hak pakai yang dimilikinya Kementerian PUPR berwenang mengambil bebatuan yang terdapat di bawah tanahnya?” ungkapnya pada Jumat (11/2/2022).

2. Kalangan birokrat mempersepsikan PSN sebagai sesuatu yang tidak boleh ditawar

Warga beraktivitas di sekitar rumahnya di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Menurut Rikardo, boleh jadi strategi pemaketan dan penyatuan ini didesakkan oleh statusnya sebagai proyek strategis nasional (PSN). Namun, umumnya kalangan birokrat dan penegak hukum mempersepsikan PSN sebagai sesuatu yang tidak boleh ditawar dan harus dijadikan.

“Dengan persepsi seperti itu dapat membuat peraturan perundangan mengenai PSN dan pelaksanaannya bersifat instrumental dan akibatnya melupakan prinsip dan asas-asas yang dikenal dalam hukum pertanahan,” terangnya.

3. Tak boleh ada tindakan represif

Anggota Polisi berjaga saat warga yang sempat ditahan tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Berkaitan dengan pengerahan aparat keamanan pada saat pembebasan lahan, Rikardo melihat bahwa terlepas dari keabsahan kegiatan pengukuran, penanganan terhadap kelompok masyarakat yang menolaknya tidak diperbolehkan menggunakan tindakan represif.

Dia pun menyayangkan apabila sampai terjadi represi yang tidak sesuai ketentuan hukum acara pidana. Sebab penyelesaian dengan upaya lain bisa ditempuh untuk mencegah kelompok yang menolak pembebasan lahan.

“Misalnya seperti menghadapi demonstran dengan cara memblokade yang tidak berakhir dengan kekerasan seperti penangkapan,” paparnya.

Editorial Team