Teater Gandrik di Mata Almarhum Djaduk Ferianto

"Gandrik bukanlah kelompok dagelan"

Kota Yogyakarta, IDN Times – Almarhum Djaduk Ferianto memang bukanlah pendiri Teater Gandrik. Bersama kakaknya, Butet Kertaredjasa, ia bergabung dalam teater yang awalnya dibesut para seniman teater seperti almarhum Heru Kesawa Murti, Susilo ‘Den Baguse Ngarso’ Nugroho, juga Jujuk Prabowo sejak 1983. Namun kehadirannya memberi warna bagi kelompok teater yang banyak beraktivitas di Padepokan Bagong Kussudiardjo itu. Salah satunya soal aransemen musik. Juga menjadi sutradara. Tak heran, Djaduk pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan Teater Gandrik.

Mendiang Djaduk sempat menyampaikan kesan-kesannya berkait Gandrik di Warung Bu Ageng, 5 April 2019 lalu.  

1. Bukan kelompok dagelan

Teater Gandrik di Mata Almarhum Djaduk FeriantoPementasan Teater Gandrik berjudul Para Pensiunan 2049 di Taman Budaya Yogyakarta, 8 April 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Orang menonton pementasan Gandrik biasanya merindukan ungkapan-ungkapan satir dan kekocakannya. Selanjutnya bisa membuat tertawa dan terhibur. Namun Djaduk menggarisbawahi.

“Gandrik bukan kelompok dagelan. Itu penting,” kata Djaduk.

Djaduk pun tak memungkiri, masyarakat menonton Gandrik karena berorientasi pasti lucu. Seperti dagelan. Tapi bukan.

“Kalau lucu bukan karena aktornya., tapi peristiwanya sudah lucu,” kata Djaduk.

Dia mencontohkan lakon “Para Pensiunan 2049” yang semula mengacu dari naskah buatan almarhum Heru Kesawa Murti. Kemudian ditata ulang oleh Agus Noor dan dibongkar lagi oleh Den Baguse Ngarso. Mengisahkan peristiwa lucu tentang orang mati yang tidak bisa dikuburkan karena tak punya SKKB (Surat Keterangan Kematian yang Baik).

“Tapi terbangun image. Gandrik itu mesti lucu. Arep nonton lucune nggon ndi (akan nonton kelucuannya di bagian mana)? Mungkin tidak didapatkan,” kata Djaduk.

Pemain pun diminta Djaduk untuk tidak berpretensi mencari kelucuan. Setelah karakter yang dilakoni terbentuk, pemain bisa berkreativitas menafsirkan ulang dialog-dialog itu. Seperti menambah ungkapan-ungkapan, menyisipkan isu ke dalam lakon dengan tetap berkorelasi pada tema besarnya.

“Itulah kreativitas para aktor. Makanya muncul kelucuan-kelucuan itu,” papar Djaduk.

Baca Juga: Kisah Djaduk Menyutradarai Cerita Kematian 'Para Pensiunan'

2. Tak bergantung pada satu pemain

Teater Gandrik di Mata Almarhum Djaduk FeriantoButet Kertaredjasa dan Susilo Nugroho dalam pementasan Teater Gandrik berjudul Para Pensiunan 2049 di Taman Budaya Yogyakarta, 8 April 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Butet, salah satu pelakon utama dalam Para Pensiunan 2049 sempat sakit. Jantungnya anfal ketika pementasan sebelumnya, Kanjeng Sepuh di Jakarta. Kondisi itu tak membuat Djaduk panik.

“Selain Butet, ada teman-teman yang lain. Jadi bukan berarti Gandrik adalah Butet,” kata Djaduk.

Kenyataannya ketika Butet sakit, pemain diganti, dan latihan tetap berjalan.

Dia menjelaskan, Gandrik tak bergantung pada satu orang saja, melainkan kerjsa sama seluruh tim. Acapkali satu pemain double casting. Seperti salah satu pemain yang bernama Kusen yang sempat memerankan tokoh yang diperankan Butet ketika latihan.

“Meski sasar susur dengan dialog yang gak hafal,” kata Djaduk.

Begitu pula Djaduk sebagai sutradara pun bersiap double casting.

“Kadang gantiin Butet, Kusen, Broto. Itu problem manajemen,” kata Djaduk.

Ia pun menjelaskan. Dalam tradisi teater di barat, untuk memerankan sosok tokoh adalah proses menjadi. Semisal, memerankan sosok Hamlet berarti si aktor menjadi Hamlet. Berbeda dengan di Indonesia yang menggunakan konsep sebagai, bukan menjadi. Semisal memerankan Hamlet berarti aktor berperan sebagai Hamlet.

“Jadi keluar masuk peran,” kata Djaduk.

3. Penonton adalah pemain

Teater Gandrik di Mata Almarhum Djaduk FeriantoDjaduk Ferianto dalam pementasan Para Pensiunan 2049 di Taman Budaya Yogyakarta, 8 April 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Pemain bagi Gandrik tak cuma yang beradegan di atas panggung. Penonton pun bagian dari  pertunjukkan.

“Ada 15 pemain. Tapi bagi Gandrik bisa 16, 20, 30, 50, 100 orang. Kelebihannya adalah penonton,” kata Djaduk.

Peran penonton bisa dilihat dari respon mereka atas segala sesuatu yang berseliweran di atas panggung.

“Kelebihan Gandrik adalah nyimpen gacuk (menyimpan kartu As) yang akan ditampilkan di pentas,” kata mendiang mantap. Gacuk itu yang diyakini dapat memicu respons penonton.

Baca Juga: Djaduk Ferianto Disemayamkan Dekat Ayahnya, Bagong Kussudiardja 

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya