Teater Film Waktu Tanpa Buku, Cara Seniman Peringati Hari HAM Sedunia

Digarap oleh lima sutradara perempuan

Yogyakarta, IDN Times – Sebuah pertunjukan teater film bertajuk Waktu Tanpa Buku akan ditayangkan 10 hari berturut-turut secara virtual pada 1 hingga 10 Desember 2020 untuk menyambut 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Pementasan seni pertunjukan ini untuk menunjukkan gagasan, bahwa hak asasi manusia dan seni mempunyai hubungan yang sangat dekat dan saling membutuhkan.

“Bahkan seni bisa membuat isu-isu HAM menjadi familiar,” kata direktur sekaligus produser teater film Waktu Tanpa Buku, Faiza Mardzoeki dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Harper Yogyakarta, Kamis, 19 November 2020.

1. Diterjemahkan dari naskah drama Norwegia

Teater Film Waktu Tanpa Buku, Cara Seniman Peringati Hari HAM SeduniaProduser teater film Waktu Tanpa Buku, Faiza Mardzoeki. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tema teater film Waktu Tanpa Buku diambil dari naskah drama yang ditulis dramawan asal Norwegia, Lene Therese Teigen. Isinya mengangkat kisah tentang ingatan para korban kediktatoran di Uruguay pada masa lalu. Lene menulisnya berdasarkan riset dan wawancara dengan para eksil di sana. Kemudian Faiza menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia untuk dipentaskan dalam teater film.

“Kisahnya sangat universal dan dekat sekali dengan kisah atas peristiwa-peristiwa di Indonesia,” kata Faiza.

Pemilihan naskah itu menurut Faiza, dirinya ingin mengajak penonton untuk mengenal pelanggaran HAM di negara lain dan bagaimana negara menyelesaikannya. Norwegia sendiri dikenal sebagai negara yang anti dengan hukuman mati.

“Jika negara lain bisa menyelesaikan, mengapa Indonesia tidak?” kata Faiza.

Baca Juga: Terima 2.000 Lebih Aduan, Komnas HAM Pede Indonesia Bisa Tegakkan HAM

2. Digarap lima sutradara perempuan

Teater Film Waktu Tanpa Buku, Cara Seniman Peringati Hari HAM SeduniaSalah satu sutradara teater film Waktu Tanpa Buku, Agnes Christina. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Pementasan selama 10 hari berturut-turut, lantaran teater film itu digarap oleh lima sutradara perempuan dengan lima tampilan yang berbeda. Tiap sutradara menampilkan pertunjukan teater filmnya selama dua hari. Kelima sutradara, yaitu Ramdiana dari Aceh, Heliana Sinaga dari Bandung, Ruth Marini dari Jakarta, Shinta Febriany dari Makassar, serta Agnes Christina dari Yogyakarta diberi kebebasan untuk beradaptasi dan mereposisi naskah yang sama menjadi pertunjukan yang berbeda. Tetapi tidak boleh keluar dari naskah aslinya.

“Misalnya, tidak boleh mengadaptasinya dengan kisah di Aceh. Tapi boleh memakai idiom-idiom Aceh,” kata seniman teater Wawan Sofwan, selaku konsultan pertunjukan.

Meski setiap adegannya terikat dengan naskah asli, setiap sutradara diberi kebebasan dalam adegan interograsi.

“Di situ, sutradara dibebaskan untuk menginterpretasikan adegan,” imbuh Wawan.

3. Melibatkan kamera di panggung secara sinematik

Teater Film Waktu Tanpa Buku, Cara Seniman Peringati Hari HAM SeduniaKonsultan teater film Waktu Tanpa Buku, Wawan Sofwan. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Naskah teater itu dipentaskan dalam bentuk perpaduan antara pertunjukan teater dan film atau sinematik. Lantaran pementasannya dilakukan secara daring untuk menyesuaikan kondisi pandemi saat ini.

“Sutradara sudah memikirkan soal kehadiran kamera,” kata Wawan.

Awalnya, tampilan pertunjukan akan diisi dengan dramatic reading karena waktu persiapan yang terbatas dua bulan. Namun dengan waktu pementasan 1,5 jam, apakah tak akan membosankan?

Salah satu siasat yang dilakukan sutradara adalah menjadikan kamera sebagai bagian dari pertunjukan. Bukan sebatas dokumentatif layaknya pertunjukan secara langsung di atas panggung. Naskah yang ada tetap diperlakukan sebagai teater, tetapi dengan pendekatan film dengan melibatkan video art.

“Jadilah teater film,” kata Wawan.

4. Anak muda pun peduli pelanggaran HAM masa lalu yang tak tuntas

Teater Film Waktu Tanpa Buku, Cara Seniman Peringati Hari HAM SeduniaTulisan pada masker "saya ingat, waktu tanpa buku". IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tak hanya teater film, acara lain yang dihelat Institut Ungu, sebuah lembaga yang mengampanyekan kesetaraan gender dan HAM melalui seni budaya menampilkan lima diskusi yang mengangkat tema tentang seni dan HAM dimulai 23 November 2020.

Sejumlah seniman teater, sastrawan dan pembuat film seperti Linda Tagie, Dicky Senda, Nano Riantiarno, Naomi Srikandi, Yulia Evina Bhara, Fanny Chotimah, Hafez Gumay, dan Band Tashoora akan tampil menjadi pembicara dalam lima diskusi yang digelar. Tak ketinggalan para akademisi muda dan para aktivis HAM dan hak-hak perempuan serta kesetaraan gender yang aktif dan konsisten menyuarakan hak-hak tersebut.

“Kenapa anak-anak muda? Karena mereka juga kelompok marginal yang hak-haknya sering dilanggar dan tidak dilibatkan dalam partisipasi politik,” kata Dana Fahadi dari Youth Centre Studies (Yousure) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Yousure juga melakukan riset tentang proses pembelajaran sejarah di SMA dan SMK dengan responden guru dan siswa. Yang menarik menurut Dana, anak-anak muda yang kerap dicap apatis ternyata mempunyai kepedulian terhadap isu-isu pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas. Tidak terbatas hanya peduli terhadap isu-isu pelanggaran HAM yang menimpa anak-anak muda seusianya.

“Dan mereka punya persepsi sendiri atas sejarah. Tidak menelan mentah-mentah yang diajarkan di sekolah,” kata Dana.

Dan untuk mengingatkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum mendapat keadilan, Institut Ungu mematrinya menjadi tulisan pada masker dengan “saya ingat, waktu tanpa buku”. Menurut Faiza, frasa “saya ingat” diambil dari penggalan dialog dalam naskah drama itu.  

 

Baca Juga: 8 Film yang Mengangkat Isu Hak Asasi Manusia, Yuk Lebih Empati!

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya