Suster Mariati, 'Tukang Kebun' yang Sukses Menghijaukan Syantikara

Harus berani hidup tanpa mengikuti tren

Sleman, IDN Times – Masih teringat di benak Suster Mariati CB (Carollus Baromeus) ketika enam tahun lalu, tepatnya 20 Mei 2013 menjejakkan kaki pertama kali di Yayasan Syantikara Yogyakarta. Dia menjadi kepala asrama putri di yayasan karya sosial dan pastoral yang dikelola Kongregasi Suster-suster Cinta kasih St. Carolus Borromeus itu.

Yang dilakukan pertama kali sehari kemudian adalah menanam pohon nangka di sana. Kemudian bulan Juni menanam pohon talok atau kersen (Muntigia calabura) di pinggir sungai Code yang berdekatan dengan yayasan.

“Sempat ada yang nyeletuk, talok kok ditanam,” kata Mariati di sela diskusi memperingati Hari Tani Nasional yang bertajuk Dampak Aksi dan Kebijakan Iklim Bagi Perempuan dan Petani di Syantikara, Sleman, Selasa (24/9)

Beberapa waktu kemudian, dedaunan pohon talok itu tumbuh rindang. Pun banyak kupu-kupu berdatangan. Berarti banyak ulatnya dong?

“Justru mengundang banyak burung untuk datang memakan ulat-ulat itu,” kata Mariati yang menyebut dirinya tukang kebun karena hobi bercocok tanam itu.

Tak berhenti di situ. Mariati terus membenahi sejumlah lahan kosong di sana untuk ditanami aneka tumbuhan. Tak heran, mata dimanjakan taman-taman menghijau ketika memasuki halaman Syantikara.

Tak sekadar menanam tanaman hias, sayuran, buah-buahan, juga tanaman obat-obatan, Mariati juga menerapkan perilaku ramah lingkungan yang mengacu pada 10 Gerakan CB untuk Membangun Komunitas Ekologis. Apa sajakah itu?

1. Tak menyediakan styrofoam dan tisu

Suster Mariati, 'Tukang Kebun' yang Sukses Menghijaukan SyantikaraIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Setidaknya ada dua benda yang tak ditemukan di Syantikara, yaitu styrofoam atau gabus dan tisu. Untuk membuat dekorasi ruangan pun, Mariati memastikan tak lagi menggunakan gabus.

“Styrofoam itu tak bisa diuraikan,” kata Mariati.

Dia pun mengumpulkan data tentang berapa lama sejumlah bahan bisa diuraikan. Plastik 10-20 tahun, kulit jeruk 6 bulan, kaleng aluminium 80-100 tahun, kardus 5 bulan, kertas 2-5 bulan, sepatu kulit 25-40 tahun, punting rokok 10-12 tahun.

Sedangkan peniadaan tisu karena bahan pembuat tisu adalah kayu. Artinya, semakin banyak tisu, semakin banyak potensi pohon yang ditebang.

“Termasuk potensi illegal logging,” kata Mariati.

Meskipun untuk acara tertentu, pihaknya kadang masih menyediakan tisu gulung di toilet.

2. Menggunakan perabot plastik yang bisa dipakai ulang

Suster Mariati, 'Tukang Kebun' yang Sukses Menghijaukan SyantikaraPexels/Maurício Mascaro

Gelas dan piring yang digunakan untuk meletakkan air minum dan makanan dalam diskusi kemarin menggunakan piring dan gelas plastik. Benda-benda tersebut bisa dipakai ulang atau tidak sekali buang.

“Tapi kami memang belum 100 persen meniadakan plastik. Karena kami masih membutuhkannya untuk beberapa hal,” kata Mariati.

Dia mencontohkan, botol plastik masih digunakan untuk wadah sejumlah produk minuman dari tanaman yang diproduksinya, seperti air seruni.

“Ini per botol kami jual Rp 6.000. Kalau diganti botol kaca bisa lebih mahal. Siapa yang mau beli?” kata Mariati.

Baca Juga: Perubahan Iklim Berdampak bagi Perempuan, Apa Sih Hubungannya?

3. Tak boleh merokok di dalam ruangan

Suster Mariati, 'Tukang Kebun' yang Sukses Menghijaukan SyantikaraPixabay/HansMartinPaul

Larangan merokok diterapkan di semua ruangan di dalam Syantikara. Apabila ada tamu yang merokok, Mariati mempersilakan untuk merokok di pinggir sungai Code atau di kebun.

“Makanya pastor dan bruder yang ke sini sedih. Karena gak boleh merokok,” kata Mariati dengan nada bercanda.

4. Ini trik menghemat air

Suster Mariati, 'Tukang Kebun' yang Sukses Menghijaukan Syantikarapixaby/955169

Ada empat suster yang mengelola Syantikara. Dan ternyata, menurut Mariati, ada satu suster yang banyak menghabiskan air ketika mandi.

“Mandinya jebar jebur. Air dalam bak (berukuran 2,5 tegel atau petak) habis,” kata Mariati.

Dia pun membuat kesepakatan dengan suster-suster itu untuk menghemat air. Caranya dengan memasang shower. Hanya saja, suster yang boros air itu lebih memilih menggunakan air dari bak mandi ketimbang dari shower.

“Ya, sudah disepakati. Tiga suster pakai shower. Satu suster pakai air bak, tapi volumenya dikurangi. Tidak penuh,” kata Mariati.

5. Yang tepat bukan membuang, tapi meletakkan sampah

Suster Mariati, 'Tukang Kebun' yang Sukses Menghijaukan SyantikaraIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ajakan untuk berperilaku hidup sehat dan ramah lingkungan ternyata membutuhkan beragam pendekatan. Salah satunya adalah bagaimana menyampaikan kalimat secara tepat. Mariati mencontohkan, perintah untuk membuang sampah dinilai tidak tepat.

“Istilah membuang itu kan artinya bebas. Bisa membuang ke mana saja,” kata Mariati.

Dia pernah mendatangi dan menegur orang yang membuang sampah di sungai.

“Yang tepat itu meletakkan sampah pada tempatnya,” kata Mariati.

Dia pun berpesan, bahwa untuk berperilaku hidup sehat dan ramah lingkungan memang acap kali tak mengikuti arus umum atau tren. Melainkan harus berani mengambil langkah yang berbeda dari kebanyakan. Semisal tren orang makan makanan cepat saji, maka memilih untuk makan makanan hasil kebun. 

"Lakukan hal-hal kecil yang tak banyak dilakukan orang," kata Mariati.

Baca Juga: Dianggap Tak Waras, Mbah Sadiman Selamatkan Desanya dari Kekeringan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya