Seniman Multitalenta, Kisah Djaduk Ferianto dan Foto Hitam Putihnya

Djaduk menekuni fotografi sejak tahun 2013

Yogyakarta, IDN Times – Almarhum Raden Mas Gregorius Djaduk Ferianto selama ini dikenal sebagai sosok komposer, koreografer, sutradara, dan produser. Lantaran sering bersinggungan dengan seni peran, Teater Gandrik. Bahkan pernah jadi pemain film di Petualangan Sherina. Terlebih pergumulannya dengan dunia suara yang menginspirasinya membentuk kelompok musik Sinten Remen dan Kua Etnika. Sinten Remen pun pernah ikut main film garapan Garin Nugroho, Daun di Atas Bantal.

Djaduk pun memantapkan diri sebagai pemusik yang gelisah. Lewat kegelisahannya pula, Djaduk menginisiasi kelahiran festival Ngayogjazz dan Pasar Keroncong Kotagede. Event tahunan ini sudah berlangsung cukup lama dan gratis semua. Tahun ini, Pasar Keroncong Kotagede sudah berumur 5 tahun pada Oktober lalu. Sedangkan Ngayogjazz menapaki usia ke-13 akhir pekan ini yang batal dihadiri penggagasnya.

Dari sekian pengembaraan kreativiatasnya, ada satu peran yang tak banyak orang tahu tentang Djaduk. Sosok yang khas dengan rambut panjang digelung, kumis dan jenggot, serta kacamata bundar itu juga seorang fotografer. 

Bahkan Djaduk pernah menggelar pameran foto bertajuk “Sirkuit Ahli Waris Etape Satu” di Padepokan Bagong Kussudiardjo, 7 Mei 2018 lalu. Karya itu juga menampilkan karya sketsa maestro seni almarhum Bagong Kussudiardja, anak keempat dan kelima Bagong, Otok Bima Sidharta dan Butet Kertaredjasa. Lalu cucu dari anak pertama Bagong, almarhumah Ida Manu Trenggono, yaitu Doni Maulistya. Juga bungsunya Bagong, Djaduk dengan foto-fotonya. 

Baca Juga: Kisah Djaduk Menyutradarai Cerita Kematian 'Para Pensiunan'

1. Memotret sejak enam tahun lalu

Seniman Multitalenta, Kisah Djaduk Ferianto dan Foto Hitam PutihnyaAlmarhum Djaduk Ferianto bersama koleganya dalam Pameran Sirkuit Ahli Waris Etape Satu di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Bantul, 7 Mei 2018. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Di sela-sela pameran Djaduk mengaku terinspirasi dari sosok almarhum Ali Said, fotografer Tempo yang memotret aktivitas berkesenian. Seperti pementasan Teater Bengkel Rendra, memotret Putu Wijaya dengan Teater Mandirinya, juga karya-karya ayahnya, Bagong Kussudiardjo.

“Itu mengagumkan dan ngefans berat,” kata Djaduk.

Djaduk mulai menekuni dunia fotografi sudah sejak 2013. Ia bergabung dengan komunitas GS, alias Gembira Selalu. Ke mana pun pergi, ia menenteng kamera. Bertemu pula dengan fotografer-fotografer profesional.

“Kalau ke luar Jawa dapat foto bagus, kumpulin, edit,” kata Djaduk.

2. Mengasah kepekaan

Seniman Multitalenta, Kisah Djaduk Ferianto dan Foto Hitam PutihnyaDjaduk Ferianto usai konferensi pers tentang pementasan Para Pensiunan 2049 di Warung Bu Ageng, 5 April 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Bagi seorang Djaduk, kepekaan tak boleh lepas begitu saja ketika tengah tak bermusik, saat rehat menjadi sutradara teater, ketika tak membuat album. Melainkan harus diasah terus. Dia perumpamakan petinju tak hanya berlatih ketika akan bertanding saja.

“Saat jeda kosong kan harus dilatih,” kata suami dari Bernadette Ratna Ika Sari alias Petra itu.

Salah satu caranya adalah dengan memotret yang menjadi stimulusnya untuk memotret peristiwa-peristiwa yang melintas di depannya. Karya-karya fotografinya yang ke luar masuk selama perjalanan saling mempengaruhi. Kadang membuat alur yang berkesinambungan dan menciptakan ruang imaji yang menarik. Seperti karya fotonya yang berjudul “Saxophone”, sebuah sebutan untuk jenis alat musik tiup. Namun dalam imaji Djaduk, saxophone itu berasal dari perpaduan sex dan phone.

“Saat sudah menjadi foto akan berdiri sendiri. Ketika menjadi judul akan berkembang lagi. Maknanya beda lagi. Punya dinamika sendiri,” ucap Djaduk panjang lebar.

3. Memilih hitam putih

Seniman Multitalenta, Kisah Djaduk Ferianto dan Foto Hitam PutihnyaSalah satu adegan Teater Gandrik dalam Para Pensiunan 2049 di Taman Budaya Yogyakarta, 8 April 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Yang khas dari karya Djaduk adalah foto dwiwarna, alias hitam putih. Djaduk menyukai warna kontras itu sedari dulu.

“Punya misteri,” ucapnya singkat.

Foto berwarna, bagi Djaduk membuat orang terjebak pada keindahan. Berbeda dengan hitam putih yang menurut Djaduk lebih sublime.

“Sejak kecil suka lihat hitam putih. Rasanya beda. apalagi saat masuk dunia pertunjukkan,” kata Djaduk.

Untuk mengabadikan momen-momen menarik baginya, Djaduk memilih kamera digital. Alasannya, untuk memilih objek tak harus sentral, permainan cahaya tak harus dari belakang.

“Itu pembelajaran saya dalam seni rupa formal. Saat milih angle, komposisinya menjadi lebih kuat,” kata Djaduk.

Ada juga kamera mirorrless. Tapi lensanya, lanjut Djaduk, dikombinasikan sehingga memudahkannya merespon momen penting dengan tema apapun. Tema-tema pun berhamburan di dalam kepalanya. Itu pun bergantung mood untuk mengesekusinya.

“Biar ngekliknya betul. Thek. Ngeng-nya jadi. Tas! Jadi,” kata Djaduk yang khas dengan idiom-idiom bunyi, seperti ngeeeng, thek, dan tas itu.

4. Setahun tiga kali pameran

Seniman Multitalenta, Kisah Djaduk Ferianto dan Foto Hitam PutihnyaFoto-foto hitam putih karya almarhum Djaduk Ferianto yang dipamerkan dalam Pameran Sirkuit Ahli Waris Etape Satu di Padepokkan Bagong Kussudiardjo, 7 Mei 2018. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Meskipun menganggap dirinya bukan fotografer, karya-karya foto Djaduk cukup ciamik. Ada yang berkaitan dengan dunia musiknya. Seperti jepretannya tentang suasana pasar burung yang dipenuhi dengan kotak-kotak sangkar dan disebutnya Orkestra Burung. Atau pun jepretan yang terkesan sembunyi-sembunyi demi mendapatkan foto peniup saxophone yang tengah ngamen di depan pintu. Begitu pula menangkap suasana para abdi dalem keraton yang tengah rehat dari tugasnya sebagai bergada drum band.

Tak kalah artistiknya adalah jepretan Djaduk pada lelaki tua tengah dicukur rambutnya. Djaduk membidik momen itu dari dalam mobil. Hasilnya, foto pencukur dan yang dicukur rambutnya terbingkai dalam jendela mobil.  

Djaduk pun cukup percaya diri memamerkan karya-karya fotonya untuk public. Setidaknya selama 2018 ada tiga pameran. Selain Sirkuit Ahli Waris Etape Satu, Jazz Gunung 2018 di Bromo, serta pameran foto tunggal bertajuk Meretas Bunyi pada akhir 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta.

Tak sekadar pameran, Djaduk pun berencana membukukan karya-karya fotonya.

“Awalnya mau bikin buku. Tapi pameran dulu aja biar dapat responnya. Mau bikin buku dan postcard. Dan dibagikan. Siapa tahu menginspirasikan teman,” harapnya ketika itu.

5. Seniman multitalenta

Seniman Multitalenta, Kisah Djaduk Ferianto dan Foto Hitam PutihnyaDjaduk Ferianto dalam pementasan Para Pensiunan 2049 di Taman Budaya Yogyakarta, 8 April 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menjadi seniman multitalenta tentulah tak sekonyong-konyong terjadi dalam hitungan hari. tak sekadar butuh proses, tapi Djaduk mengakui ada peran ayahnya, Bagong Kussudiardjo di balik kesuksesan berkeseniannya dan kakak-kakaknya. Terutama dalam kedisiplinan. Lantaran seni tiada berbatas. Lintas disiplin ditekankan dari dulu.

“Bagong bisa sastra, bikin sketsa, mendalang. Bagong itu ya koreografer, pelukis, bikin skenario. Dan kami ketularan,” kata ayah lima anak yang meliputi Gusti Arirang, Ratu Hening, Gallus Presiden Dewagana, Kandida Rani Nyaribunyi, dan Rajane Tetabuhan.

Ia pun tak menafikkan cara pandang orang yang menganggap seniman itu enggak bisa diatur. Padahal mereka tertib dalam memanajemen waktu dan tubuhnya. Dan lewat kedisiplinan pula, Djaduk bisa menggelar kesenian bersama yang melibatkan banyak orang. Butuh energi besar. Jazz Gunung, Ngayogjazz, Keroncong Kotagede.

“Tinggalan Bagong itu ya disiplin. Tak ada rasa lelah. Itu modal utama berkesenian yang tak pernah mati,” kata Djaduk memungkasi.

Kini ia terbaring bersama Bagong di tanah Sembungan.

Baca Juga: 10 Style Keren Gusti Arirang, Putri Sulung Djaduk Ferianto 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya