Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan Melukis

Menghindari makan enak dengan melukis makanan dan diet nasi

Yogyakarta, IDN Times - Ifah, demikian panggilan akrab perempuan perupa, Laila Tifah, 49 tahun. Dia tengah menggelar pameran tunggal keduanya yang diberi tajuk Sri di Jogja Gallery mulai 7-17 Februari 2021. Sementara pameran tunggal pertamanya sudah 17 tahun berlalu, tepatnya 2004 di Jakarta dengan mengusung tema Malam Pertama.

Tak disangka, gairah Ifah untuk berpameran tunggal lagi justru dipicu oleh kecemasan. Cemas lantaran penyakit diabetes melitus akibat kadar gula yang tinggi menderanya empat tahun terakhir. Penyakit itu bikin raganya berasa mudah capek, selalu mengantuk.

Keluh kesah kecemasan itu dilontarkan dalam sejumlah karya lukisnya. Beberapa di antaranya dipajang di dinding ruang pamer Jogja Galerry hingga 17 Februari nanti. Di tengah sakitnya, Ifah melawan dengan aktif membuat karya lukisan.

“Aku tidak menunggu momen. Tapi mencari dan menciptakan momen dalam berkarya,” kata Ifah di tengah acara press tour pamerannya pada 6 Februari 2021 siang.

Dan bukan soal teknik melukis atau pun jenis media yang digunakan untuk melukis yang menjadi tantangan terberatnya.

“Tapi menjaga pikiranku tetap aktif, baik alam sadar maupun bawah sadar,” imbuh Ifah.

Baca Juga: Alasan Heri Dono Jadi Seniman: Tak Bisa Pensiun, Tak Bisa Dipecat

1. Mengurangi nasi dan kue seperti lukisan Karbo I

Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan MelukisPerupa Laila Tifah dengan karyanya Karbo I di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Lukisan yang paling kentara menggambarkan kecemasannya adalah yang diberi judul Karbo I. Melukiskan tiga sosok manusia dengan postur tubuh yang berbeda akibat asupan karbohidrat yang tak seimbang. Mereka berdiri di atas hamparan sawah dengan tanaman padi menghijau. Seorang laki-laki berbadan gendut. Dadanya telanjang dan menampakkan perutnya yang cembung. Citraan padi-padi menghambur ke wajahnya, seolah ia menghirup atau mengonsumsinya tiada henti.

Laki-laki sebelahnya berpostur kurus. Mulutnya tertutup rapat dengan kain warna biru. Cara yang sama juga dilakukan seorang perempuan bergaun hitam. Hanya saja, postur tubuhnya sudah terlanjur tambun. Kain biru yang membekap mulutnya seolah jadi upayanya untuk mengakhiri asupan karbohidrat berlebihan.

Cara itu pula yang dilakukan Ifah untuk mengendalikan kadar gula darah dalam tubuhnya. Dalam keseharian, dia telah mengurangi konsumsi karbohidrat berkadar tinggi, seperti nasi dan aneka kue.

2. Ngerowot, lelaku menjauhi nasi untuk hidup sehat

Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan MelukisSuasana press tour pameran tunggal Laila Tifah berjudul Sri di Jogja Gallery, 6 februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Sebenarnya, pesan untuk tak berlebihan mengkonsumsi nasi sudah disampaikan ibunya, Umi Nafiah.

“Kalau kita menjauhi nasi akan menjadi kuasa,” demikian pesan ibunya kepada Ifah.

Ibunya biasa menjalani lelaku ngerowot alias tidak makan nasi. Dengan ngerowot tak sekadar menjaga kesehatan. Melainkan sebuah upaya mewujudkan cita-cita dan harapan di tengah keterbatasannya.

Dan dia mengejawantahkan pesan ibunya dalam lukisan berjudul Ngerowot. Lukisan yang dipenuhi warna merah itu menggambarkan sejumlah kelelawar yang hidup menggantung. Kaki di atas, kepala di bawah. Sementara sekumpulan tumbuhan kembang warna merah menggerombol di bawahnya. Menurut penulis katalog pameran Sri, Nurjaman AA, tidur menggantung di dahan pohon adalah polah kelelawar usai kekenyangan makan buah.

“Ngerowot itu, lelakunya kelelawar,” imbuh Nurjaman.

Baca Juga: Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  

3. Meninggalkan makanan enak dengan melukis aneka makanan enak

Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan MelukisLukisan berjudul Di mana Bakcang karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Jelang sore itu, pengunjung berebut mencari citraan bakcang di atas kanvas. Sekedar menjawab pertanyaan yang menjadi judul salah satu lukisan, Di Mana Bakcang. Pada kanvas seluas 185 x 300 sentimeter itu, Ifah melukiskan suasana meja makan di ruang tengah. Aneka makanan terhampar di atas meja yang tak luas. Ada sepiring telur mata sapi, roti tawar, dan entah jajanan apa yang berada dalam selubung stoples dan piring. Mangkuk-mangkuk kecil dibiarkan bertumpuk, juga bercangkir-cangkir entah berisi kopi atau teh.

Belum puas juga, di atas kursi panjang juga berderet macam-macam camilan dalam piring dan stoples. Ada juga sepiring ikan, beberapa sisir pisang. Belum lagi rak-rak di dinding dan di bawah meja yang tak hanya penuh dengan perabot pecah belah. Melainkan juga makanan dan minuman. Lalu di mana bakcang?

“Biasanya dibungkus daun. Dan digantung,” kata Ifah memberi kata kunci.

Ketemulah beberapa bungkusan kecil bersudut empat yang menggembung dalam daun hijau dan digantung di jendela. Itulah bakcang. Kuliner khas Tionghoa, berbahan ketan dengan daging babi menjadi isinya.

Ifah memang sengaja melukis aneka makanan yang disebut enak dan lezat itu. Dan makanan-makanan itu menjadi masa lalu yang sudah ditinggalkan karena penyakitnya.

“Saya hanya dapat melukiskannya,” kata Ifah.

4. Pertama kalinya menjejak tanah leluhurnya di Tanah Minang

Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan MelukisLukisan berjudul Setengah Minang karya Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Namun di tengah kecemasannya, ada satu hajat yang sudah ditunaikan. Mengunjungi kampung halaman leluhurnya dari garis ayah di Tanah Minang untuk pertama kalinya pada 2017.

Ifah adalah empat bersaudara yang lahir dari rahim perempuan Yogyakarta, Umi Nafiah dan laki-laki dari Perbaungan, Sumatera Utara, almarhum Noeralamasyah yang beken dipanggil dengan Nasjah Djamin. Nama Nasjah diduga kutipan pendek dari Noeralamsyah. Sedangkan Djamin adalah nama ayahnya, Haji Djamin yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Nasjah Djamin adalah pelukis sekaligus sastrawan. Salah satu lukisannya yang berjudul Lestari Fardani pada 1958 dikoleksi Presiden Sukarno dengan harga jual Rp6.000.

Darah seni Ifah ini mengalir dari ayahnya, seorang perupa dan sastrawan kenamaan. Nasjah yang lahir dan besar di Perbaungan, Sumatera Utara itu menikah dengan perempuan Bantul, DI Yogyakarta, Umi Nafiah. Salah satu dari empat anaknya adalah Ifah.

Ayahnya yang super pendiam, jarang sekali bercerita tentang Tanah Minang. Tak heran, Ifah hanya mengenal rendang dan rumah gadang. Barulah sesampai di sana, Ifah bisa menjejak kaki di Lembah Harau. Pun mengenal lebih dekat sistem matrilineal atau garis ibu di mana Ifah akan dianggap sebagai orang Jawa ketimbang orang Minang ketika berada di Tanah Minang.

“Karena garis Minangkabau dari bapak. Tapi ketika di Jawa, aku bisa disebut orang Minang karena menganut garis ayah,” kata Ifah membeberkan obrolan dengan sopir taksi yang mengantarnya ke Taman Budaya Padang. Dan obrolan itu mengingatkan lukisannya Setengah Minang yang dibuat dua tahun sebelum ke Minang.

5. Kekuatan garis berawal dari crayon

Seniman Laila Tifah, Melawan Sakit dan Cemas dengan MelukisKarya-karya lukisan Laila Tifah di Jogja Gallery, 6 Februari 2021. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Yang menjadi kekhasan lukisan karya Ifah, menurut Nurjaman, adalah warnanya yang cenderung gelap dan punya kekuatan garis. Permainan garis itu tentulah tak terlepas dari latar belakang pendidikannya sebagai alumni Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1992-1997). Rupanya ada pula cerita masa kecil Ifah di balik garis-garis itu yang kemudian dibeberkan Nurjaman.

Minat melukis sudah ditunjukkan Ifah kecil. Acapkali dia mengambil cat minyak yang biasa dipakai ayahnya untuk melukis. Nasjah kerap memergoki. Namun tak ada kejelasan gambaran raut muka yang marah atau pun jengkel yang ditangkap Ifah mengingat Nasjah cenderung pendiam. Sebaliknya, ayahnya itu justru meembelikan crayon untuk Ifah.

“Goresan crayon berbetuk garis itu yang memengaruhi permainan artistiknya sampai sekarang,” kata Nurjaman. 

Baca Juga: Tahun Ini, Tak Ada Pasar Kuliner di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya