SAPDA: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pengkhianatan bagi Difabel

Diskriminatif dan mengabaikan hak-hak difabel

Yogyakarta, IDN Times – Jumlah halaman draf Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang dikabarkan sudah disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 lalu terus berubah. Mulai dari 1.028 halaman versi website DPR sejak Maret, 905 halaman versi yang beredar menjelang pengesahan, 1.052 halaman usai disahkan, hingga 1.035 halaman versi yang disebut final karena yang disebut telah dikirim kepada presiden.

Meskipun konon perubahan halaman draf UU Cipta Kerja itu untuk memperbaiki draf-draf sebelumnya, bagi kelompok-kelompok difabel, substansinya tetaplah sama. Berdasarkan hasil penelusuran tiap-tiap draf yang beredar, ternyata sejumlah pasal dalam UU tersebut tidak harmonis dan sinkron dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

“Bukan hanya mengabaikan UU Nomor 8 Tahun 2016, tetapi juga pengkhianatan,” tegas Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA), Nurul Sa’adah dalam forum pernyataan sikap difabel secara daring, Senin (12/10/2020).

Padahal salah satu anggota dewan yang turut dalam pembahasan, diketahui Nurul adalah pendukung dan pembahas penyusunan UU 8 Tahun 2016. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Bahrul Alam pun mempertanyakan pemahaman DPR tentang difabel dalam proses pengesahan UU 8 Tahun 2016 lalu.

“Jangan-jangan (UU 8 Tahun 2016) asal disahkan saja, tidak tahu-menahu. Terbukti saat menyusun RUU Cipta Kerja tidak memperhatikan UU Penyandang Disabilitas,” kata Bahrul.

Hal itu menjadi alasan kuat kelompok-kelompok difabel menuntut Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pembatalan RUU Cipta Kerja dalam waktu 14 hari. Meski pun mereka juga akan mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi atas RUU tersebut.

“Tuntutan yang utama, Presiden harus keluarkan perppu untuk membatalkan RUU Cipta Kerja,” tegas Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi.

Baca Juga: Pencetus Omnibus Law bukan Jokowi, Inilah Sosoknya 

1. Penyusunan Omnibus Law tak melibatkan kelompok dan organisasi difabel

SAPDA: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pengkhianatan bagi DifabelIDN Times/Debbie Sutrisno

Substansi UU Cipta Kerja berdampak bagi kehidupan difabel. Namun sejak awal pembahasan oleh DPR, tak satu pun kelompok dan organisasi difabel dilibatkan. Padahal konsultasi publik merupakan rangkaian mekanisme yang mesti dilalui dalam penyusunan setiap produk undang-undang.

Terbukti, draf yang beredar di khalayak tidak sejalan dengan semangat dalam UU Nomor 8 Tahun 2016. Organisasi difabel pun secara inisiatif mandiri mengajukan usulan ke DPR. Usulan itu pun tak diakomodir hingga Sidang Paripurna Pengesahan UU Cipta Kerja digelar.

“(Menggelar konsultasi publik) itu kewajiban DPR. Kalau di situ ada istilah penyandang disabilitas, mestinya konsultasi dengan difabel dong,” kata Bahrul.

Tak hanya tidak melibatkan difabel, Fajri juga menilai proses penyusunan RUU itu tak aksesibel bagi difabel. Tidak menghadirkan penerjemah bahasa isyarat di parlemen.

“Dokumen draf RUU yang beredar pun menyulitkan bagi difabel penyandang hambatan penglihatan,” imbuh Fajri.

Kelompok difabel pun menuntut pertanggungjawaban sembilan fraksi di DPR untuk memberi penjelasan tertulis kepada publik mengenai alasan pengabaian kelompok difabel dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Juga tidak dicantumkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 sebagai undang-undang yang terkena dampak.

2. UU Cipta Kerja menggunakan istilah “penyandang cacat” untuk menyebut difabel

SAPDA: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pengkhianatan bagi DifabelIDN Times/Debbie Sutrisno

Legislatif dan eksekutif yang menyusun UU Cipta Kerja juga dinilai telah melakukan kejahatan epistemik, karena masih mengusung istilah “cacat” bagi difabel. Sementara dalam UU 8 Tahun 2016, istilah itu sudah diganti dengan penyandang disabilitas. Penggunaan istilah “cacat” bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung semangat dan cara pandang kesetaraan dalam hak asasi manusia.

Sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja yang masih menggunakan istilah “penyandang cacat” adalah revisi Pasal 46 UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, revisi Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, penambahan Pasal 153 serta 154a UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan penjelasan dari revisi Pasal 138 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

Padahal Pasal 148 UU Nomor 8 Tahun 2016 telah mengatur, bahwa istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai penyandang disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Semestinya pula, RUU Cipta Kerja mengacu pada pasal ini.

Penggunaan istilah “cacat” juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Right of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.

“Kami berusaha baca semua (draf). Ketika kami track, kata “cacat” masih ada. Saya pikir UU ini dibuat grusa-grusu, tidak cermat, tidak memperhatikan yang harus ditimbang. Termasuk hak-hak disabilitas,” papar Bahrul.

Baca Juga: Sultan Akan Surati Jokowi Soal Penolakan UU Cipta Kerja 

3. UU Cipta Kerja menghapus pasal layanan yang aksesibel bagi difabel

SAPDA: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pengkhianatan bagi DifabelRuang tunggu khusus difabel yang ada di lobi utama YIA. IDN Times/Siti Umaiyah

UU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia. Pasal itu merupakan bentuk pelindungan negara terhadap hak difabel untuk mendapatkan aksesibilitas dalam bangunan gedung.

“Penghapusan pasal itu tidak mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan akomodasi yang layak dalam dunia kerja,” kata Nurul.

Kewajiban penyediaan akomodasi yang layak bagi difabel telah diatur dalam Pasal 11 huruf c UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Meskipun akomodasi yang layak itu hanya diwajibkan di rumah sakit. Bukan di tempat kerja yang dinilai tempat paling penting untuk menjamin terpenuhinya hak atas pekerjaan bagi difabel.

“Fasilitas bagi difabel tidak dapat direduksi dari fasilitas infrastruktur lain. Itu mencakup pelayanan dan fasilitas yang bisa berbeda antara penyandang disabilitas,” kata Nurul.

4. UU Cipta Kerja menjadikan pekerja difabel sebagai alasan di-PHK

SAPDA: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pengkhianatan bagi Difabel

Revisi Pasal 154A huruf l UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja telah ditambahkan satu syarat yang dapat menjadi alasan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Di sana disebutkan, bahwa PHK dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

“PHK dengan alasan itu sangat diskriminatif, dapat merugikan penyandang disabilitas, dan jauh dari semangat mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif,” kata Fajri.

Semestinya seseorang yang menjadi difabel dalam dunia pekerjaan seharusnya masuk dalam skema program kembali bekerja, seperti dialihkan ke pekerjaan lain atau penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk mendukungnya tetap dapat bekerja tanpa hambatan.

Persyaratan sehat jasmani rohani yang tercantum dalam Pasal 8 ayat 1, Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 46 dalam RUU Cipta Kerja juga dinilai sumir dan mendiskriminasi difabel mental untuk mendapatkan akses pekerjaan.

“Juga tak ada pengaturan mekanisme pencegahan dan perlindungan kekerasan terhadap pekerja perempuan, khususnya perempuan difabel,” imbuh Nurul.

5. RUU Cipta Kerja menghilangkan kuota 1-2 persen tenaga kerja difabel

SAPDA: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pengkhianatan bagi DifabelSukardi membuat kerajinan dari bambu. IDN Times/Zainul Arifin

UU Cipta Kerja telah menghilangkan kuota 1 persen tenaga kerja difabel bagi perusahaan swasta dan 2 persen tenaga kerja bagi perusahaan atau institusi pemerintah dari keseluruhan pegawai. Aturan itu akan mengurangi kesempatan difabel dalam mengakses dunia kerja.

“Makanya, hentikan tindak kekerasan, baik dari demonstran maupun aparat. Itu dapat menyebabkan seseorang menjadi penyandang disabilitas,” kata Fajri.

Di sisi lain, salah satu visi UU Cipta Kerja adalah mendorong kemajuan ekonomi masyarakat dengan memberikan kemudahan berusaha bagi masyarakat umum, termasuk jenis usaha kecil menengah dan koperasi.

Namun UU ini justru meninggalkan kepentingan difabel untuk meningkatkan usaha ekonominya dengan tidak mencantumkan poin-poin yang memudahkan difabel untuk berusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 56-60 UU Nomor 8 Tahun 2016. 

Baca Juga: PUKAT UGM: UU Cipta Kerja Mengarah ke Kekuasaan yang Rentan Korupsi

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya