Riset Hoaks Pemilu 2019 Fisipol UGM Jadi Bahan Evaluasi Pilkada 2020

Kampus mestinya tak tabu jadi ajang debat capres

Yogyakarta, IDN Times – Pasca-Pemilu 2019, Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menggelar sejumlah riset dan advokasi.

Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim menjelaskan, pengalaman dan permasalahan Pemilu 2019 diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi penyelenggaraan Pilkada serentak 2020. Terutama untuk menindaklanjuti kesepakatan bersama antara Fisipol UGM, KPU DIY, Bawaslu DIY, dan Jaringan Demokrasi Indonesia (Jadi) DIY untuk menjadikan pilkada serentak 2020 sebagai uji coba peningkatan pelaksanaan pemilu yang berkualitas.

Baca Juga: Pilkada Serentak 2020 di DIY Jadi Piloting Pemilu Berkualitas

1. Hoaks yang menyerang KPU lebih merisaukan ketimbang menyerang kandidat presiden

Riset Hoaks Pemilu 2019 Fisipol UGM Jadi Bahan Evaluasi Pilkada 2020Workshop soal Pilkada Serentak 2020 di DIY di Prime Plaza Hotel Yogyakarta, 19 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Riset soal kabar bohong diadakan di Jawa Barat dan Maluku. Hasilnya menunjukkan, isu negatif, hoaks, dan ujaran kebencian selama Pemilu 2019 beredar secara online dan offline.

“Dalam komunitas-komunitas kecil, kalau yang nyebarin itu tokoh masyarakat gak ada yang berani bantah,” kata Gaffar dalam 'Workshop Diseminasi Riset dan Kepemiluan 2019-2020: Hoaks, Ujaran Kebecian, dan Kematian KPPS' di Yogyakarta, Rabu (19/2).

Berdasarkan pengolahan big data, sasaran isu negatif, hoaks, dan ujaran kebencian adalah para kandidat presiden dan penyelenggara pemilu, khususnya KPU. Jika menyasar kepada para kandidat, Gaffar menilai dampaknya tak merisaukan. Dan tidak menggeser suara para kandidat secara signifikan.

“Poinnya pada tingkat kecerdasan publik,” kata Gaffar.

Justru yang menjadi persoalan, jika isu-isu tersebut menyerang penyelenggara pemilu. Lantaran membuat publik tidak percaya pada penyelenggara pemilu dan proses elektoral.

“Itu yang merisaukan Pemilu 2019,” kata Gaffar.

2. Kampus bukan tempat yang tabu untuk debat kandidat presiden

Riset Hoaks Pemilu 2019 Fisipol UGM Jadi Bahan Evaluasi Pilkada 2020Ketua Dep. Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM abdul Gaffar Karim. IDN times/Pito Agustin Rudiana

Sebelum Pemilu 2019, Fisipol UGM juga menggelar bedah program capres dan cawapes dalam lima kali putaran. Temanya mencakup pemerintahan yang bersih dan penegakan hak asasi manusia, ketahanan atau kedaulatan pangan dan energi, politik luar negeri, hak dasar warga negara dan kesejahteraan sosial, serta infrastruktur daerah tertinggal dan pemerataan pembangunan.

“Tapi karena takut pada aturan, kampus tak berani datangkan kandidat. Sebatas timses,” kata Gaffar.

Ia mengungkapkan, tujuan bedah program capres dan cawapres tersebut adalah untuk membawa program-program para kandidat ke dalam kampus. Mengingat selama ini kampus ditabukan sebagai penyelenggara debat kandidat. Lantaran dianggap menggelar kampanye di kampus.

“Itu harus diluruskan. Di Amerika, debat kandidat justru di kampus, bukan stasiun televisi,” kata Gaffar.

3. Penyakit kardiovaskular dan perokok latarbelakangi kematian KPPS di DIY

Riset Hoaks Pemilu 2019 Fisipol UGM Jadi Bahan Evaluasi Pilkada 2020Workshop Pengelolaan Pilkada Serentak di DIY di Prime Plaza Hotel Yogyakarta, 19 Februari 2020. IDN Time/Pito Agustin Rudiana

Fisipol UGM menggandeng Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) dan Fakultas Psikologi untuk menggali akar masalah di balik sakit dan meninggalnya 12 petugas KPPS di DIY.

Hasilnya, ditemukan 100 persen petugas pemilu di DIY yang meninggal adalah berjenis kelamin laki-laki, usia 46-67 tahun, 90 persen perokok aktif. Kematiannya berkaitan dengan masalah kardiovaskular, seperti punya riwayat penyakit jantung, diabetes, juga stroke. Selain itu, petugas juga mengalami beban fisik dan psikis yang berat dalam proses penyiapan tahap pemungutan dan penghitungan suara.

Riset itu juga menghasilkan temuan menarik. Bahwa kondisi tersebut tidak ditemukan di TPS yang dikelola perempuan. Justru penyelenggaraan kegiatan di TPS itu lebih efektif, selesai lebih cepat, sehingga bisa petugas istirahat lebih awal.

“Suasananya juga lebih ceria, rileks. Tapi TPS yang dikelola laki-laki lebih banyak smoke break-nya,” kata Gaffar disambut tawa peserta workshop.

4. Kelompok vigilante digandeng untuk memenangkan suara kandidat

Riset Hoaks Pemilu 2019 Fisipol UGM Jadi Bahan Evaluasi Pilkada 2020Workshop soal Pilkada Serentak 2020 di DIY di Prime Plaza Hotel Yogyakarta, 19 Februari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ada empat aspek yang disorot dalam riset itu. Meliputi daerah dengan partisipasi terendah, daerah dengan potensi pelanggaran pemilu, daerah rawan konflik, dan daerah rawan bencana alam.

Hasil riset menunjukkan kerawanan paling serius berupa kerawanan sosial yang berpotensi memicu konflik besar sehingga berdampak pada penyelenggaraan dan integritas pemilu.

“Kelompok-kelompok vigilante (semacam penjaga yang bertindak dengan cara sendiri) punya peran besar dalam pemilu di DIY,” kata Gaffar.

Kelompok-kelompok tersebut dimanfaatkan partai politik dan kandidat politisi untuk memenangkan pemilu.

Baca Juga: Jelang Pilkada, Polda DIY Akan Petakan Daerah Rawan Intoleransi

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya