Pandemik, Rokok Jadi Penghiburan dan Komoditas Penyumbang Kemiskinan

Konsumsi beras menurun, rokok justru meningkat

Yogyakarta, IDN Times - Beras dan rokok kretek filter secara berurutan menempati peringkat pertama dan kedua teratas dari 10 besar komoditas makanan penyumbang garis kemiskinan secara nasional per September 2020 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 15 Februari 2021.

Meski demikian, pengeluaran konsumsi untuk beras mengalami penurunan pada periode Maret 2020-September 2020. Sedangkan konsumsi untuk rokok kretek filter justru mengalami kenaikan.

Pengeluaran konsumsi rokok di perkotaan naik dari 12,16 persen menjadi 13,50 persen. Sedangkan kenaikan di perdesaan dari 10,98 persen menjadi 11,85 persen. Konsumsi komoditas rokok kretek filter secara nasional mengalahkan konsumsi lauk pauk lain, seperti telur ayam dan dagingnya.

“Kemungkinannya pandemi COVID-19, perekonomian sulit. Asumsi saya, daripada beli makanan, ya beli rokok. Buat hiburan,” kata Ketua Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT) Yayi Suryo Prabandari, saat dihubungi IDN Times, 24 Februari 2021.

Sementara catatan BPS menjelaskan, garis kemiskinan atau pengeluaran minimum per kapita digunakan mengukur kemiskinan yang dilihat dari ketidakmampuan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Sedangkan prioritas konsumsi masyarakat untuk beras dan khususnya rokok, menurut Yayi sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu.

Baca Juga: DIY Darurat Rumah Sakit, Jangan Biarkan Jadi Kolaps Gegara COVID 

1. DIY urutan ke-11 dari 16 provinsi dengan persentase penduduk miskin di atas rata-rata nasional

Pandemik, Rokok Jadi Penghiburan dan Komoditas Penyumbang KemiskinanProsentase penduduk miskin September 2020. Data BPS DIY

Pandemik COVID-19 tak terelakkan menjadi faktor terbaru penyebab kenaikan tingkat kemiskinan. Perubahan perilaku, aktivitas ekonomi, dan pendapatan penduduk selama pandemi berdampak ada penambahan orang miskin baru.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami kenaikan menjadi 27,55 juta pada September 2020. Ada kenaikan sebanyak 1,13 juta orang atau 10,19 persen yang dihitung sejak Maret 2020. Kenaikan kemiskinan di perkotaan lebih tinggi 13,20 persen dibanding di perdesaan yang hanya naik 7,88 persen dari Maret 2020.

Kepala BPS DIY Sugeng Arianto dalam siaran pers melalui daring pada 15 Februari 2021 menyebutkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada di posisi ke-11 dari 16 provinsi yang persentase penduduk miskinnya berada di atas rata-rata nasional. Persentase penduduk miskin di DIY ada 12,80 persen atau di atas rata-rata nasional 10,19 persen.  

“Jumlah penduduk miskin di DIY pada September 2020 sebanyak 503,14 ribu orang atau meningkat 27,4 ribu (5,76 persen) dari Maret 2020,” papar Sugeng.

2. Garis kemiskinan satu rumah tangga miskin DIY Rp 2.108.388 per kapita per bulan

Pandemik, Rokok Jadi Penghiburan dan Komoditas Penyumbang KemiskinanIlustrasi keadaan warga miskin. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Berdasarkan data hasil Survei Ekonomi Sosial Nasional (Susenas) September 2020 yang dihimpun BPS DIY, garis kemiskinan atau nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan dan non-makanan pada bulan itu naik menjadi Rp 465.428 per kapita per bulan. Angka itu naik 0,42 persen dibanding Maret 2020 sebesar Rp 463.479 per kapita per bulan. Garis kemiskinan itu meliputi kebutuhan makanan sebesar Rp 335.262 per kapita per bulan (72,3 persen) dan non-makanan sebesar Rp 130.166 per kapita per bulan (27,97 persen).

Sementara satu rumah tangga miskin di DIY rata-rata mempunyai 4,53 anggota keluarga. Artinya, pengeluaran minimum yang dilakukan rata-rata satu rumah tangga miskin adalah Rp 465.428 dikalikan 4,53 anggota keluarga.

“Garis kemiskinan satu rumah tangga miskin Rp2.108.388 per kapita per bulan,” kata Sugeng.

3. Konsumsi rokok di perkotaan DIY nomor dua, perdesaan nomor empat

Pandemik, Rokok Jadi Penghiburan dan Komoditas Penyumbang KemiskinanKomoditi terbesar penyumbang garis kemiskininan di DIY September 2020. Data BPS DIY

Berbeda dengan kondisi di DIY. Meskipun rokok kretek filter masih stagnan di urutan kedua setelah beras sebagai komoditas makanan penyumbang terbesar kemiskinan di perkotaan sejak Maret 2020 sebanyak 11,27 persen—September 2020 sebanyak 9,63 persen—tidak demikian di perdesaan. Pada Maret 2020, konsumsi rokok di perdesaan di urutan ketiga setelah beras dan daging ayam ras dan turun lagi ke peringkat keempat setelah beras, telur ayam ras, dan daging ayam ras. Tak hanya turun peringkatnya, pengeluaran untuk komoditas rokok kretek filter di perdesaan juga menurun dari 7,77 persen menjadi 5,05 persen.

“Masyarakat perdesaan mungkin lebih bijak,” kata Yayi yang cukup senang dengan penurunan peringkat itu.

Asumsi dia, pandemi yang belum usai itu mengubah perilaku masyarakat desa untuk memaksimalkan tanah pekarangan dan perkebunan mereka untuk bercocok sayur mayur.

4. Butuh kebijakan multilevel untuk membatasi jumlah perokok di Indonesia

Pandemik, Rokok Jadi Penghiburan dan Komoditas Penyumbang KemiskinanKomunitas kretek

Pengeluaran masyarakat yang terbesar kedua untuk rokok berdasarkan data Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes), sebagaimana diketahui Yayi sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Dalam satu rumah tangga di Indonesia, sekitar 50 persen adalah perokok.

“Dan yang memprihatinkan, salah satu riset menyebutkan hampir semua kepala rumah tangga miskin itu perokok,” kata Yayi.

Artinya, rokok belum bisa dikendalikan dengan baik. Mengapa demikian?

“Keseriusan mengendalikan rokok belum kuat,” kata Yayi.

Merokok sudah menjadi perilaku masyarakat Indonesia yang sulit dihentikan karena bersifat adiktif. Terlebih harganya murah, mudah didapat di mana pun, bisa dijual ketengan alias batangan, dan iklan rokok pun masih diperbolehkan di berbagai media massa maupun papan-papan reklame di jalanan.

Sementara intervensi berupa aturan dari pemerintah belum berjalan maksimal. Sekitar 400 kabupaten kota di Indonesia, baru setengahnya yang menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR).

“Di DIY saja baru Yogyakarta, Kulon Progo, dan Gunungkidul yang menerapkan KTR. Sleman dan Bantul belum,” kata Yayi.

Berbeda dengan sejumlah negara lain yang sudah menerapkan aturan rokok secara ketat. Yayi mencontohkan Australia. Di sana, iklan rokok di media massa maupun reklame diganti dengan iklan berhenti merokok. Harga rokok pun dibuat mahal, tidak boleh dibeli ketengan dan harus satu pak, dan hanya dijual di tempat tertentu.

“Indonesia termasuk 10 negara yang masih menyiarkan iklan rokok,” kata Yayi.

Di Jepang pun menerapkan premi kesehatan khusus yang lebih mahal bagi perokok. Upaya yang mestinya dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok, menurut Yayi adalah menerapkan kebijakan berjenjang atau multilevel secara ketat. Mulai dari level pertama bantuan individu, level kedua pelayanan bantuan terpadu, hingga penerapan aturan oleh pemerintah.

“Kalau gak berjenjang ya cuma wacana. Survei lagi, ya sama lagi datanya (konsumsi rokok tetap tinggi),” kata Yayi.  

Baca Juga: Rifka Annisa: Catcalling Bukan Pujian, Bikin Ruang Publik Tak Aman

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya