Organisasi Bantuan Hukum Harus Berpihak kepada Masyarakat Miskin

Bantuan hukum itu nol rupiah

Sleman, IDN Times – Sebanyak 31 organisasi bantuan hukum (OBH) di Daerah Istimewa Yogyakarta, baik yang lolos sertifikasi maupun yang tidak lolos sertifikasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) DIY mendeklarasikan Forum Organisasi Bantuan Hukum DIY di ruang konferensi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Senin (9/9).

Menurut Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta Imam Joko Nugroho yang membacakan naskah deklarasi, tujuannya bersinergi untuk mewujudkan perluasan akses keadilan melalui layanan bantuan hukum yang berkualitas.

1. Perlu ada pengawasan kepada OBH

Organisasi Bantuan Hukum Harus Berpihak kepada Masyarakat MiskinIDN Times/Sukma Shakti

Advokat senior, Nur Ismanto mengingatkan, perlu dibentuk dewan pengawas untuk mengawasi kinerja Forum OBH tersebut.

“Perlu ada dewan pengawas atau dewan etik. Untuk saling mengingatkan,” kata Nur Ismanto saat memberi sambutan diskusi bertema Optimalisasi Gerakan Bantuan Hukum untuk Meluaskan Akses Keadilan Bagi Masyarakat Miskin menjelang deklarasi.

Mengingat dalam Pasal 19 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk bantuan hukum dari APBD. Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, anggaran yang dialokasikan untuk bantuan hukum di wilayah DIY sebanyak Rp 2,1 miliar dari total APBD 2019 Rp 5,6 triliun. Dana tersebut dialokasikan untuk 22 OBH di DIY dari total 524 OBH seluruh Indonesia yang telah terverifikasi pada 2019-2021.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Yogi Zul Fadli juga mengingatkan meskipun bantuan hukum telah ada legalitasnya berdasarkan UU Nomer 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum, tetapi semestinya tidak sekadar dipandang sebagai peluang untuk menyokong kerja-kerja bantuan hukum.

“Tapi tak boleh menggeser kewajiban moralitas OBH untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin,” kata Yogi.

2. OBH memberi layanan bantuan hukum gratis untuk masyarakat miskin

Organisasi Bantuan Hukum Harus Berpihak kepada Masyarakat MiskinIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Jumlah penduduk miskin di DIY per Agustus 2019 ada 11,7 persen atau 463 ribu dari total jumlah penduduk 3,6 juta. Penduduk miskin ini berhak mendapatkan layanan bantuan hukum secara gratis dengan menunjukkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

“Persoalannya, belum banyak masyarakat miskin yang tahu layanan ini. Yang mereka tahu, layanan bantuan hukum itu berbayar dan mahal,” kata Panitia Pengawas Bantuan Hukum Kanwil Kemenkumham DIY, Rina Nurul Fitri Atien.

Bentuk layanan hukum tersebut tidak hanya berupa litigasi atau melalui proses peradilan. Melainkan juga non litigasi atau tanpa melalui jalur peradilan, seperti mediasi, pendampingan hukum, konsultasi hukum, penyuluhan hukum, juga negosiasi.

“Jumlah serapan anggaran untuk pendampingan non litigasi masih minim,” kata Nurul.

Pada 2019 ini, serapan APBD untuk biaya non litigasi hanya Rp 325,22 juta. Sedangkan untuk litigasi Rp 1,805 miliar. Menurut Nurul perlu ada sosialisasi kepada masyarakat miskin tentang layanan bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut hingga ke pelosok pedesaan.

Baca Juga: Mengapa Hukuman Kebiri Sulit Dilakukan?

2. Ada OBH nakal yang meminta bayaran

Organisasi Bantuan Hukum Harus Berpihak kepada Masyarakat Miskinpixabay/William Cho

Salah satu kendala penegakan integritas layanan penegakan hukum adalah adanya OBH yang berpotensi nakal dengan menerima pembayaran atau meminta biaya penanganan perkara. Semisal, OBH tersebut berdalih meminta biaya digunakan untuk mengganti biaya transpor. Nurul pernah mendapatkan kasus tersebut setelah melakukan pengecekan terhadap klien atau masyarakat miskin yang mendapat bantuan layanan hukum.

“Bantuan hukum itu gratis. Nol rupiah. Mohon masyarakat tak memberi uang kepada OBH,” tegas Nurul.

Adanya praktik tersebut juga dibenarkan Yogi. Mengingat masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan bantuan hukum. Lantaran ada sebagian pengacara yang mempunyai paradigma: ada dana jalan, tak ada dana jangan.

“Ini akan melebarkan peluang pelanggaran HAM. Akses keadilan akan runtuh!” kata Yogi menegaskan.

Konsekuensinya, Nurul menambahkan, OBH nakal tersebut dapat diturunkan akreditasinya.

3. Kasus KDRT dan penggusuran belum banyak mendapat bantuan hukum

Organisasi Bantuan Hukum Harus Berpihak kepada Masyarakat MiskinIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dekan FH UAJY, Sarimurti Widyastuti berharap deklarasi Forum OBH menjadi api penguat untuk pengabdian hukum kepada masyarakat yang tidak bisa mengakses bantuan hukum. Seperti kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KRDT) yang menimpa anak dan perempuan yang masih jarang mendapat pendampingan.

“Ada istri yang dicerai tidak, dinafkahi pun tidak. Itu namanya digantung. Tapi OBH belum banyak menjangkau mereka,” kata Sarimurti.

Kondisi yang sama, Yogi menambahkan, adalah kasus-kasus struktural terkait konflik vertikal antara masyarakat berhadapan dengan pemerintah, negara, atau pun swasta. Seperti kasus penggusuran warga Pantai Parangkusumo di Bantul pada 2016, penggusuran pedagang Pasar Kembang di Yogyakarta pada 2017, juga penggusuran warga untuk pembangunan bandara di Kulon Progo pada 2015-2018.

“Negara tidak memberikan solusi. Korban juga tak jelas nasibnya dan tak ada ganti rugi,” kata Yogi.

Semestinya, lanjut Yogi, OBH melakukan reposisi untuk tidak sekadar bekerja di wilayah hilir atau permukaan. Melainkan ikut terlibat menyelesaikan persoalan hulu, seperti kemiskinan. OBH juga ikut mengawasi dan mengontrol penyelenggaraan negara, terlibat dalam perbaikan hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“OBH juga menjadi gerakan untuk meningkatkan kesadaran kritis warga atas situasi sosial yang tidak adil dan penuh pelanggaran HAM,” kata Yogi.

Baca Juga: Mencuri Cabai, Remaja Asal Klaten Dihukum Makan Hasil Curian

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya