Tanpa Djaduk, Ngayogjazz 2019 Haru dan Lucu Menjadi Satu

Menampilkan Ide terakhir Djaduk Ferianto

Sleman, IDN Times – Perhelatan tahunan Ngayogjazz 2019 bertema “Satu Nusa, Satu Jazz-nya“ di gelar di Dusun Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Sabtu, 16 November 2019.

Sekitar pukul 15.00 WIB, Menteri Koordinator Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Mahfud MD yang membuka acara di Panggung Genteng , yang merupakan panggung utama. Acara kemudian dilanjutkan dengan pawai kecil yang dilakukan warga setempat dengan kostum ala prajurit keraton.

Suasana harus terasa saat pembukaan Ngayogjazz, istri, anak dan keluarga almarhum Djaduk Ferianto datang untuk mengenang pentolan adik Butet Kertaradjasa itu. 

Baca Juga: Ngayogjazz 2019: Satu Nusa Satu Jazz-nya, Tribute To Djaduk Ferianto 

1. Marwoto Kawer mengucapkan teks Sumpah Pemuda

Tanpa Djaduk, Ngayogjazz 2019 Haru dan Lucu Menjadi SatuKomedia Marwoto Kawer mengisi pembukaan Ngayogjazz 2019 di Dusun Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, 16 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Beruntung, ada komedian Marwoto Kawer di atas panggung. Meski ikut berduka, monolog ringkasnya yang ditampilkan dalam pembukaan mampu membuat penonton tertawa. Dalam monolog itu, Marwoto mengisahkan suasana menjelang Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dirumuskan.

Dan bukan Marwoto namanya, jika sejarah serius itu bisa diotak-atik menjadi acara yang menghibur. Sembari mendekap wadah biola, Marwoto membanyol dirinya mendapat warisan biola itu dari pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman.

Ia juga mengisahkan suasana rapat dari sejumlah pemuda perwakilan wilayah yang dipelesetkan dengan nama-nama sungai. Jong Code (pemuda dari Code), Jong Citarum, Jong Kapuas, Jong Mahakam, dan seterusnya.

Sebelum membacakan teks Sumpah Pemuda, Marwoto pun berpidato dengan bahasa campur aduk Indonesia-Jawa. Di sampingnya, selembar gambar kartun tentang profil Djaduk dipajang.

“Pidato-pidato yang melelahkan dan tidak jelas dalam kerapatan tadi diteruskan, ditimbang tanpa timbangan. Segala isi pidato dan pembicaraan yang pating clebung yang sering putus-putus karena putus nyambung. Putus nyambung karena tidak ada atau tidak dapat yang baru…,” kata Marwoto mengundang geeer penonton.

Mereka saling melempar celetukan atas banyolan komedian Yogyakarta itu.

“Iki usule Mas Djaduk (ini usulnya Mas Djaduk),” kata Marwoto mengklarifikasi. Lagi-lagi penontonton tertawa. Akhirnya mereka tahu, Djaduk penggagasnya.

2. Museum mini tentang kisah kocak almarhum pemusik jazz Indonesia

Tanpa Djaduk, Ngayogjazz 2019 Haru dan Lucu Menjadi SatuKisah pemusik jazz Januari Christy ikut dimasukkan dalam Messom Jazz, musium mini di Ngayogjazz 2019, 16 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Museum mini dihadirkan untuk mengenang Djaduk dan beberapa musisi jazz  telah tiada. Lokasinya menempati bangunan rumah kosong milik warga setempat. Namanya pun diplesetkan dari museum menjadi Messiom Jazz dengan gambar pemain bola Argentina, Lionel Messi sebagai ikonnya.

“Ini ide Mas Djaduk sejak setahun lalu,” ungkap salah satu Board of Ngayogjazz 2019, Bambang Paningron kepada IDN Times.

Sejumlah pemusik jazz yang telah almarhum ditampilkan. Ada Januari Christy, Ireng Maulana, Embong Rahardjo, Dullah Suweileh. Selain foto dan narasi singkat profil mereka, juga dipajang sejumlah barang kesayangan mereka yang mungkin berkesan remeh temeh. Seperti pemotong kuku yang disebut belum sempat digunakan Ireng.

Bambang Paningron bercerita, lantaran tak mendapatkan benda-benda kesayangan Januari Christy, akhirnya di dinding ruang pamer dipajang sejumlah kalender yang hanya menampilkan bulan Januari.

3. Karikatur dan melukis on the spot

Tanpa Djaduk, Ngayogjazz 2019 Haru dan Lucu Menjadi SatuSeniman Butet Kertaredjasa dilukis sejumlah perupa di ajang Ngayogjazz 2019 di Dusun Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, 16 Oktober 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Tak hanya melulu tentang musik, para perupa pun turut berpartisipasi dalam Ngayogjazz. Ada komunitas Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) yang memamerkan karya-karya karikatur mereka. Temanya adalah profil Djaduk Ferianto.

Sementara perupa lain dari kelompok pelukis menggelar demo melukis secara langsung alias on the spot. Obyeknya bisa siapa dan apa saja. Salah satunya kakak Djaduk, seniman monolog Butet Kertaredjasa yang ‘dipaksa’ sejumlah perupa untuk menjadi model.

Mumpung isih ana (mumpung masih ada/hidup),” canda Bambang Heras, salah satu perupa.

Meski raut wajahnya masih dirundung kesedihan, Butet tetap tersenyum lebar. Dia duduk santai sembari menyesap rokoknya dalam-dalam.

Baca Juga: Sebelum Meninggal, Djaduk Masih Memimpin Rapat Ngayogjazz 2019

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya