Napas Panjang Film Selama Pandemi: Butuh SOP dan Beralih ke Digital

Sutradara Indonesia bisa bersaing dengan Hollywood

Yogyakarta, IDN Times – Mestinya, 19 Maret 2020 lalu, film Tersanjung sudah wara-wiri tayang di bioskop. Namun, virus corona menundanya. Jadwal tayang film besutan sutradara Hanung Bramantyo yang diproduksi MVP Pictures itu belum bisa dipastikan. Mengingat pandemik COVID-19 juga entah kapan akan berakhir.

“Sudah lolos sensor. Sudah gala premiere. Tinggal tayang. Tiba-tiba berhenti,” kata Hanung curhat dalam diskusi online bertajuk “Industri Film Menghadapi The New Normal” yang digelar Website Muhammadiyah, 20 Mei 2020 lalu.

Persoalannya, jika tak disiasati, napas produksi film akan mandek selama pandemi. Sutradara, produser, kru-kru film akan menganggur. Sementara waktu berlangsungnya pandemi tak bisa ditawar kapan berhenti. Hasil obrolan Hanung dengan sejumlah sutradara, pandemi tidak hanya mengubah habit produksi perfilman. Namun juga estetikanya.

“Jangan-jangan film kami nanti close up semua. Bikin full shoot dan wide shoot hanya di rumah. Masak isinya di rumah saja,” cetus Hanung.

Baca Juga: Saat Pandemik Hanung Bramantyo Produktif Bikin Film Pendek Bareng Anak

1. Sutradara film bisa bersaing di platform digital

Napas Panjang Film Selama Pandemi: Butuh SOP dan Beralih ke DigitalHanung Bramantyo. Instagram/hanungbramantyo

Jika sebelum pandemi perfilman sudah merambah ke dunia digital, maka ketika pandemi digital menjadi pilihan yang memungkinkan ketika bioskop tak beroperasi. Banyak orang memanfaatkan layanan over-the-top (OTT) atau layanan multimedia dengan jaringan internet untuk mengunggah atau pun menonton film. Hanung mencontohkan kanal YouTube yang sering digunakan karena gratis.

“Sutradara bersaing di OTT. Tinggal bagaimana kreatif mengubah estetika film agar ditonton orang,” kata Hanung yang melihatnya sebagai bagian dari seleksi alam.

Belum lagi film-film yang muncul di OTT tak hanya besutan sutradara dalam satu negara. Melainkan mesti bersaing dengan sutradara dari berbagai negara.

“OTT seperti Netflix misalnya. Kami disandingkan dengan sutradara Hollywood,” kata Hanung.

2. Perlu SOP produksi film selama pandemi

Napas Panjang Film Selama Pandemi: Butuh SOP dan Beralih ke DigitalInstagram.com/uliherdi

Hanung berharap ada protokol syuting masa pandemi. Artinya, proses produksi film tetap jalan, tetapi kesehatan dan keselamatan kru dan pemainnya tetap diutamakan.

“Dan SOP (standard operational procedure) ideal itu pernah ada dalam industri film Jerman,” kata Hanung.

Ia mencontohkan. Dalam SOP itu, setiap kru dan pemain juga melakukan cuci tangan sebelum setelah berproduksi. Kru film pun diisolasi dari dunia luar. Misal, dalam jarak 10-20 meter dari lokasi syuting harus clear area. Tak boleh ada orang yang masuk.

“Artis-artis Hollywood, seperti Tom Hank, Brad Pitt enggak mau bersinggungan dengan fans. Difoto-foto,” kata Hanung.

Contoh SOP itu merupakan aturan rumah produksi film di Jerman yang diterapkan sehari-hari. Dan menurut Hanung bisa diterapkan selama masa pandemi. Lantas, mengapa rumah-rumah produksi di Indonesia tak menerapkan itu? Misalnya melakukan clear area.

“Mahal. Misal (lokasi syuting) aula kampus dengan ruang kelas kampus itu punya harga sendiri,” tukas Hanung.   

Butuh kapital besar untuk menerapkan standar itu dalam pembuatan film di Indonesia. Padahal tak semua jenis film bersifat komersial.

“Kalau pengen bikin film independen bisa kukut (bangkrut) mendadak,” kata Hanung.

Minimal sejumlah SOP bisa disiasati untuk diterapkan. Semisal pakai masker, katering makanan dipisah berdasarkan usia, adegan melahirkan yang mestinya syuting di rumah sakit diganti dengan syuting di rumah dukun. Soal pembiayaan bisa dikompromikan dengan kreatif.

“Bagaimana pun kami butuh pemasukan. Kami mau kok diatur, ada tata tertib. Juga perlu pengawalan kesehatan selama 15 jam,” kata Hanung.

3. Bioskop ditutup, iklan televisi turun

Napas Panjang Film Selama Pandemi: Butuh SOP dan Beralih ke Digitalpixabay/Derks24

Diakui Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Periode 2020-2024, Rommy Fibri Hardiyanto, saat ini seluruh bioskop tutup sampai waktu tak tentu. Kabar kabur menyebut sampai Juli. Akhir tahun pun bisa jadi. Mau tak mau rumah produksi film ikut berhenti. Tak sampai di situ, persoalan terus merembet. Jika film sudah selesai dibuat, maka tak bisa dipasarkan. Jika proses produksi baru separuh jalan, tak bisa dilanjutkan.

“Efeknya merumahkan karyawan. Itu pilihan pahit, berat. Tapi sudah diambil,” kata Rommy.

Pelaku industri kreatif yang melibatkan staf-staf kreatif perfiliman ikut terdampak. Ada yang sudah dapat kontrak, tapi tak bisa dijalankan. Yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) pun banyak.

“Rata-rata jobless. Yang masih bertahan di kantor kena potong gaji 50 persen,” kata Rommy.

Dunia sekotak televisi juga terdampak pandemi. Memang penonton bertambah hingga 18 persen karena kebijakan stay at home. Tapi iklan turun drastis 40-50 persen.

“Enggak bisa survive. Stasiun TV akhirnya mengeluarkan program tayangan ulangan,” kata Rommy.

Sementara ketika tontonan sudah beralih ke digital semua, diakui Rommy itu menjadi tantangan LSF. Lantaran tangan kewenangan LSF untuk mengawasi belum sampai ke ranah itu.

“Sampai hari ini belum masuk YouTube atau flix-flix-an lainnya,” kata Rommy yang berencana akan mendiskusikannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Komunikasi dan Informasi. 

Baca Juga: Artis-Artis Ini Pakai Face Shield Saat Syuting untuk Cegah Corona

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya