Cara Mengurangi Sampah Plastik Dimulai dari Mengubah Perilaku

Produsen mengganti kemasan plastik dengan botol

Yogyakarta, IDN Times – Hingga kini, diakui Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, pihaknya belum mempunyai data mengenai jumlah sampah plastik yang dihasilkan di DIY saban harinya dan jumlahnya di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Piyungan di Bantul.

Mengingat tak semua sampah rumah tangga dipilah oleh komunitas pengelola sampah, seperti bank sampah untuk dimanfaatkan. Banyak sampah rumah tangga yang dibawa menuju tempat pembuangan sementara (TPS) sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA).

“Dan di TPA juga masih ada pemulungnya. Jadi belum ada datanya,” kata Halik saat ditemui IDN Times di Sekretariat Walhi Yogyakarta. 

Namun berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY dalam materi pengelolaan sampah di DIY pada 23 Mei 2019 lalu, timbunan sampah yang bersumber dari sampah rumah tangga di Yogyakarta, Sleman, dan Bantul mencapai 1.683 ton per hari. Sebanyak 50,82 persennya telah dikelola dan sisanya 49,18 persen belum dikelola. Pengelolaan sampah melalui bank sampah dengan metode 3R, yaitu reduce (membatasi), reuse (penggunaan ulang), dan recycle (daur ulang) sebanyak 17 persen.

Pengelolaan mandiri oleh masyarakat pedesaan, semisal untuk pupuk kompos sebanyak 1,5 persen. Dan paling banyak langsung diangkut ke TPST Piyungan sebanyak 33 persen. Sedangkan sampah yang tidak dikelola dibuang secara ilegal, seperti dengan cara dibakar, dibuang ke sungai, atau pun laut.

Lantas bagaimana cara mengurangi produksi sampah, terutama sampah plastik di DIY?

Baca Juga: Hari Bumi, Ombudsman DIY Urun Saran untuk Pengelolaan TPST Piyungan

1. Mengubah perilaku masyarakat

Cara Mengurangi Sampah Plastik Dimulai dari Mengubah PerilakuIlustrasi Sampah Plastik (IDN Times/Aldzah Aditya)

Penambahan populasi penduduk dari mahasiswa maupun pelajar luar DIY turut andil menambah timbunan sampah. Satu orang diperkirakan menghasilkan satu kilogram sampah per harinya.

Sementara, sampah yang dihasilkan dipicu gaya hidup instan dari mahasiswa, seperti mengonsumsi makanan instan atau pun dari warung, membeli aneka produk barang melalui jasa online, juga menggunakan jasa laundry.

“Semuanya membutuhkan plastik sebagai kemasannya,” kata Halik.

Sementara saat berbelanja ke supermarket ataupun ke pasar tradisional, meskipun membawa kantong belanja sendiri juga masih menghasilkan banyak sampah plastik. Terutama dari kemasan produk yang dibelinya, seperti snack, botol plastik, kemasan sabun atau sampo isi ulang, kemasan minyak goreng isi ulang.

“Belanja ke satu warung juga pulang bawa 10 kantong plastik,” kata Halik.

Semisal untuk membeli lima bumbu dapur yang berbeda akan dikemas dalam lima kantong plastik yang berbeda. Belum lagi kantong plastik untuk wadah ikan, daging, sayuran, juga beras.

Perubahan perilaku dengan mengurangi sampah plastik, menurut Halik bisa dimulai dengan membawa wadah yang bisa dipakai berulang untuk tempat belanjaan dari pasar. Peran induk semang untuk memberi edukasi anak-anak kost agar mengurangi sampah lewat memilah sampah dengan metode 3R.

“Sayangnya, kost di Yogyakarta semakin banyak yang tak berinduk semang,” kata Halik.

2. Pengelolaan sampah oleh komunitas

Cara Mengurangi Sampah Plastik Dimulai dari Mengubah PerilakuIlustrasi pemanfaatan sampah pelastik (IDN Times/Oetoro Aji)

Jumlah bank sampah terus bertambah. Apalagi di wilayah Kota Yogyakarta diharuskan memiliki minimal satu bank sampah tiap rukun warga. Tak heran jumlah bank sampah di Yogyakarta mencapai 455 unit pada 2018. Sedangkan di Sleman hampir mencapai 250 unit dan Bantul hampir 150 unit.

Tiap kepala keluarga akan menjadi nasabah yang menyetorkan sampah ke bank sampah untuk diolah. Jenis sampahnya adalah sampah yang masih bisa didaur ulang dan mempunyai nilai ekonomi. Seperti kemasan plastik, botol mineral plastik, aneka logam, juga kertas.

“Biasanya ada pertemuan bank sampah dengan nasabahnya sebulan sekali,” kata Halik.

Dari sampah yang disetorkan, nasabah akan mendapat uang. Sementara pihak bank sampah akan mengolah sampah yang disetor nasabah dengan metode 3R, seperti membuat produk kerajinan.

“Residunya yang dibuang ke TPA,” kata Halik.

Persoalannya, tak sedikit bank sampah yang mati suri karena jenuh. Kemudian ukuran bank sampah yang diyakini sukses adalah bank sampah yang menghasilkan banyak sampah dan menambah jumlah nasabah dengan jumlah residu sampah yang sama atau lebih banyak.

“Ini tentu dipertanyakan. Sampah yang ditabung dari mana, kok malah tambah banyak? Kok residunya bertambah? Berarti pembuangan sampah reguler tetap ada,” papar Halik.

Semestinya indikator bank sampah yang sukses, menurut Halik adalah semakin sedikit residu yang dibuang. Tak masalah jumlah tabungannya semakin sedikit.

“Artinya, ada pengurangan konsumsi sampah,” kata Halik. 

Selain itu, pengelola bank sampah juga bisa diajak menjadi kepanjangan pemerintah untuk melakukan kampanye pengurangan sampah plastik. Mengingat secara nasional ada target pengurangan sampai dengan metode 3R sebanyak 30 persen untuk tingkat nasional per tahun. Sedangkan pengurangan sampah dengan metode 3R di Yogyakarta baru 25 persen, Sleman 18 persen, dan Bantul 9 persen per tahun.

“Pencapaian zero plastik masih jauh di Indonesia,” kata Halik.

3. Pengelolaan sampah plastik oleh produsen

Cara Mengurangi Sampah Plastik Dimulai dari Mengubah PerilakuTumpukan botol minuman keras di dalam kuburan, TPU Pancoran Mas, Depok (Rohman Wibowo/IDN Times)

Tak bisa dipungkiri, produsen yang notabene perusahaan aneka produk makanan, minuman, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya mempunyai andil menyumbang sampah plastik terbanyak melalui kemasannya. Lantaran masyarakat banyak membeli dan menggunakan produk mereka.

Sebenarnya ada upaya untuk membuat produsen mengurangi sampah plastik atau setidaknya turut andil untuk melakukan metode 3R terhadap kemasan produknya. Upaya tersebut telah diatur dalam Pasal 15 UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Bunyinya, produsen wajib mengelola kemasan dan atau barang yang diproduksinya yang tidak atau sulit terurai oleh proses alam.

“Jadi perlu didorong aturan mekanisme pengembalian kemasan plastik dari masyarakat konsumen kepada perusahaan sebagai produsen,” kata Halik.

Upaya tersebut pernah diterapkan beberapa tahun lalu oleh perusahaan produsen minuman. Produsen menggunakan kemasan botol kaca untuk produk minumannya. Ketika konsumen telah habis mengkonsumsinya, kemudian dia menukar botol kaca tersebut dengan uang di warung atau toko tempatnya membeli. Pemilik warung atau toko kemudian menyetorkannya kembali kepada produsen.

“Produsen bisa menggunakan botol kaca itu lagi untuk kemasan produk yang akan dijual lagi,” kata Halik.

Hanya saja, kini banyak produsen minuman yang memilih menggunakan botol plastik. Bahkan untuk menarik minat konsumen, produsen berinovasi memproduksi minuman yang dikemas dalam botol segala ukuran. Apabila sebelumnya hanya tersedia ukuran satu liter, kemudian kini ada yang berukuran 500 mililiter, 250 mililier, hingga 100 mililiter.

“Itu strategi marketing produsen untuk menarik minat pembeli,” kata Halik.

Sementara konsumen membeli dengan alasan kepraktisan. Dampaknya, semakin bertambah banyak sampah plastik yang dihasilkan.

Untuk mendorong aturan Pasal 15 UU Nomor 18 Tahun 2008 bisa diterapkan, menurut Halik adalah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah yang akan mengatur mekanismenya yang sudah diatur dalam Pasal 16. Sayangnya, hingga kini aturan mekanismenya belum ada.

“Nantinya, penerapan Pasal 15 itu lebih efektif menekan jumlah sampah plastik,” kata Halik.

Alasannya, ketika semakin banyak konsumen membeli produknya, maka semakin banyak pula kemasan plastik yang dikembalikan dan harus diolahnya.

“Lama-lama produsen akan mikir untuk mendaur ulang kemasannya. Jadi aturan itu memberinya kewajiban bertanggung jawab,” papar Halik.

Baca Juga: Hari Bumi Kala Pandemik, Soroti Masalah Lingkungan lewat Aksi Digital

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya