Kisah PRT, Dirindukan Rumah Tangga Diabaikan Hak-Haknya

Rata-rata upah PRT di Jogja hanya Rp500 ribu per bulan

Yogyakarta, IDN Times – Upah Pekerja Rumah Tangga (PRT) di DIY masih jauh dari upah minimum kabupaten/kota (UMK). 

Rata-rata majikan di wilayah DIY memberikan upah Rp500 ribu per bulan kepada PRT. Angka itu jauh dari upah minimum kota atau kabupaten sekitar Rp1,5 juta. Padahal, hampir semua rumah tangga menggunakan jasanya, tapi sayangnya hak-hak PRT masih diabaikan.

Aktivis perempuan Ernawati mengungkapkan dengan kondisi itu tak mengherankan, banyak PRT yang memilih bekerja paruh waktu ketimbang waktu penuh. Artinya, PRT tak menginap di rumah majikan.

“Karena itungan pekerjaan dan waktu tak sebanding dengan upah yang diterima,” kata Ernawati.

Kecuali majikan mau membuat perjanjian kerja bersama PRT dengan mencantumkan besaran upah dan waktu kerja di dalamnya. Semisal, besaran upah berdasar standar kebutuhan hidup layak per hari Rp 50 ribu. Namun kebanyakan majikan menolak.

“Kelayakan upah kan bukan sekedar bisa makan tiga kali sehari. Tapi ada kebutuhan lain yang harus diperhatikan,” kata Ernawati.

1. PRT tak masuk dalam kategori pekerja versi UU Ketenagakerjaan

Kisah PRT, Dirindukan Rumah Tangga Diabaikan Hak-HaknyaPara PRT saat membagikan masker gratis kepada penumpang bus di Mijen Semarang. Dok SPRT Merdeka

Urusan upah sebenarnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Persoalannya, PRT tak masuk dalam kategori pekerja versi undang-undang itu. Cenderung digolongkan sebagai pekerja informal sehingga aturan soal standar upah, jam kerja, juga kewajiban majikan lebih longgar. Terlebih jika PRT bermasalah dengan majikan. Semisal upah tak dibayar, mengalami kekerasan, dipaksa lembur tanpa upah tambahan, tak diberi cuti ketika melahirkan, atau pun anak di bawah umur yang dipekerjakan. Proses advokasinya rumit karena tak ada aturan yang melindungi: apakah memposisikan PRT sebagai pekerja, orang dengan usia dewasa atau anak, atau umum.

“Ini kan kekerasan dalam relasi kerja. Kalau pun dimasukkan kategori pekerja informal, aturan hukumnya juga beda,” kata Ernawati.

Padahal ada pengakuan dan perlindungan dari dunia terhadap PRT yang selama ini dipinggirkan dari skema perlindungan pekerja umumnya. Bahkan, setiap tanggal 16 Juni selalu diperingati sebagai Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional.

Dalam siaran pers Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tertanggal 16 Juni 2020, penetapan Hari PRT Internasional pada 2011 bersamaan dengan adopsi Konvensi 189 tentang Kerja Layak Bagi PRT dan Rekomendasi 201 oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Indonesia pun menyetujui konvensi dan rekomendasi itu lewat pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Konferensi ke-100 ILO di Jenewa. Namun hingga kini, Indonesia belum merativikasinya.

 

Baca Juga: Indonesia Protes Iklan Penjualan Jasa PRT di Situs Online Singapura

2. Serikat PRT dan Sekolah PRT pertama didirikan di Yogyakarta

Kisah PRT, Dirindukan Rumah Tangga Diabaikan Hak-HaknyaIlustrasi PRT. https://www.piqsels.com/

Sebenarnya PRT tak tinggal diam, mereka juga membentuk organisasi. Bermula dari pembentukan Yayasan Rumpun Tjoet Njak Dien di Yogyakarta oleh sejumlah aktivis perempuan pada tahun 1995 yang mengorganisir dan mengadvokasi kasus-kasus PRT. Kemudian pada 1997, aktivis perempuan Lita Anggraeni mendirikan Jaringan Perlindungan PRT (Jala PRT) yang salah satu desakannya adalah penyusunan peraturan daerah tentang PRT.

Sementara pada 2003, Serikat Pekerja Rumah Tangga dibentuk pertama kali di Yogyakarta. Pada tahun yang sama, juga didirikan Sekolah PRT di Yogyakarta untuk memberi pemahaman PRT atas hak dan kewajibannya. Setahun kemudian, Serikat PRT terdaftar dengan nama Tunas Mulia.

“Masih ada stigma negatif tentang PRT. Jadi PRT harus berorganisasi. Tahu hak dan kewajiban, tahu hukum,” kata Ernawati.

PRT pun mesti melek teknologi. Mereka bisa kampanye melalui media sosial. Juga menulis di blog, seperti tungkumenyala.blog. Bahkan sebagian lagi ada yang kuliah.

Lewat Serikat PRT dan sekolah pula, mulai disosialisasikan pembuatan dan penggunaan kontrak kerja antara PRT dengan majikan untuk mempertegas tanggung jawab masing-masing.

“Ada tujuan kerja, upah, sampai tuntutan hari libur mingguan,” kata Lek Jum, pemilik nama lengkap Jumiyem dari Serikat PRT Tunas Mulia.

Kini sudah ada delapan Serikat PRT di Indonesia. Tiap sepekan sekali menggelar diskusi bersama dengan tema-tema berbeda melalui media sosial.

“Juni hingga Agustus nanti kami bahas soal RUU PRT,” kata Lek Jum, salah satu PRT yang bisa menamatkan kuliah.

Pemerintah DIY bersama DPRD-nya pernah mengesahkan Perda Ketenagakerjaan DIY Tahun 2009 yang di dalamnya mencantumkan PRT. Namun aturan itu dianulir Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan dalih belum ada aturan lebih tinggi yang mengaturnya.

Setahun kemudian, Sultan menerbitkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 31 Tahun 2010 tentang PRT. Ada kontrak kerja, tapi tak mengatur standar upah maupun sanksi.

“Serikat PRT ambil alih. Kalau ada kekerasan yang mengarah pidana, masuk ke ranah hukum,” kata Lek Jum.

Serikat PRT di Indonesia juga berjejaring dengan International Domestic Workers Federation (IDWF). Mereka sering berkomunikasi dan menggelar pertemuan bersama untuk membahas pengorganisasian dan advokasi PRT.

Di Asia, Lek Jum menilai Filipina bisa menjadi contoh baik perlakuan pemerintah terhadap PRT. Selain mempunyai UU PRT sejak 2013, juga ada aturan jaminan tenaga kerja. Ada empat manfaat yang diterima PRT, antara lain jaaminan mendapat pinjaman uang untuk perumahan dan biaya sekolah anak. Tahun 2019, Serikat PRT dari Indonesia, Hong Kong, Philipina, Malaysia ketemu bareng bahas soal jaminan tenaga kerja.

“Semacam studi banding,” kata Lek Jum.

3. RUU Perlindungan PRT mangkrak 16 tahun di DPR

Kisah PRT, Dirindukan Rumah Tangga Diabaikan Hak-HaknyaIDN Times/Kevin Handoko

Di tingkat nasional, Jala PRT mendesak kehadiran UU Perlindungan PRT. Draf RUU dilontarkan Jala PRT dan masuk dalam agenda program legislasi nasional (prolegnas) di DPR pada 2004. Salah satu tuntutannya adalah mengatur standar upah PRT sama dengan upah minimum provinsi (UMP). Namun RUU itu tak pernah dibahas. Baru 2011 dibahas kembali dengan pembentukan panitia kerja Komisi IX DPR. Namun hingga habis periode jabatan DPR pada 2014, RUU ini tak pernah diketok.

“Bahkan tahun 2015, RUU itu akan dikeluarkan (dari prolegnas),” kata Lek Jum.

Lewat advokasi, RUU Perlindungan PRT kembali dibahas atas usulan Fraksi Nasional Demokrat pada 2019. Kemudian masuk dalam Prolegnas 2020.

“Mangkrak 16 tahun di DPR. Kebanyakan anggota dewan kan majikan juga. Mereka khawatir ada aturan itu,” kata Lek Jum.

Sejumlah pasal yang diusulkan Jala PRT ditolak, semisal soal standar upah. Level tuntutan pun diturunkan dengan tak memasukkan aturan standar upah di dalamnya. Anggota dewan juga menolak PRT berserikat. Kemudian Jala RT merangkul sejumlah jejaring, termasuk Komnas Perempuan sehingga PRT berserikat tak dilarang.

“Yang penting ada undang-undangnya dulu. Hak-hak lain bisa masuk dalam aturan turunan atau lewat revisi undang-undang,” papar Lek Jum.

Meski demikian, jejaring pendukung UU Perlindungan PRT tak tinggal diam.

“Hak-hak PRT diperjuangkan lewat jalan tengah,” kata Lek Jum.

Pada 2019, Jala PRT menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dengan memasukkan PRT sebagai peserta. Ada tiga manfaat yang diterima PRT yang menjadi peserta, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Sampai Juni 2020 sudah ada 758 PRT jadi peserta yang berasal dari Jakarta, Semarang, Lampung, Yogyakarta, dan Medan.

“Harapannya, majikan mau bayar penuh. Jika tak bersedia, bisa bayar setengahnya,” kata Lek Jum.

Sementara menurut Ernawati, persoalannya terletak pada belum diakuinya PRT sebagai pekerja oleh negara melalui produk hukum.

Baca Juga: Dari PRT Jadi Idola Dangdut, Inilah Profil & Fakta Evi Masamba

4. PRT dan majikan punya hak dan kewajiban

Kisah PRT, Dirindukan Rumah Tangga Diabaikan Hak-HaknyaFreepik

Tak semua PRT dan majikan punya pemahaman yang sama soal hak dan kewajiban masing-masing. Ini menjadi tantangan Serikat PRT untuk memberikan sosialisasi kepada PRT maupun majikan. Tak banyak majikan yang bersedia menandatangani kontrak kerja dengan PRT-nya. Belum lagi soal besaran upah.

“Awalnya menolak yang kami tawarkan. Ada win-win solution,” kata Lek Jum.

Dia mencontohkan PRT yang bekerja pada majikan yang feodal. Sering menyuruh tak kenal waktu, meski PRT tengah bekerja atau beristirahat. Semua keinginan majikan harus dipenuhi. PRT pun mengambil sikap sabar. Dia memberi pemahaman pelan-pelan kepada majikannya. Meski majikan marah dan tak ditegur hingga beberapa hari.  

“Sekarang majikannya tak suka main perintah. Juga memberi libur mingguan memang tak mudah, penuh liku,” kata Lek Jum.

5. UU Perlindungan PRT untuk menjamin relasi setara dan adil antara PRT dan majikan

Kisah PRT, Dirindukan Rumah Tangga Diabaikan Hak-HaknyaKetua Jala PRT Lita Anggraeni saat memberikan pendidikan bagi para PRT di Mijen. Dok SPRT Semarang

Dalam siaran persnya, Komnas Perempuan menyebut PRT salah satu dari jenis pekerjaan sektor informal yang didominasi perempuan. ILO memperkirakan jumlah PRT di seluruh dunia sekitar 67.1 juta orang dan 11.5 juta atau 17,2 2019, persen adalah PRT migran. Berdasar data Sakernas dan BPS 2019, sekitar 70,49 juta orang di Indonesia bekerja di sektor informal dan 61 persen adalah pekerja perempuan. Data tahun 2015 menunjukkan jumlah PRT di Indonesia diperkirakan 4 juta orang. Sementara 60-70 persen dari total perkiraan sembilan juta pekerja migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri.

Akibat ketiadaan payung hukum tentang PRT, hingga kini PRT rentan mengalami kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan seksual, perdagangan orang, dan kekerasan dalam rumah tangga. Termasuk tidak dipenuhinya hak-haknya sebagai pekerja, seperti upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat dan peningkatan kapasitas. Di sisi lain, majikan tidak mendapatkan kepastian hukum akan haknya untuk memperkerjakan PRT yang cakap, bekerja sesuai jangka waktu yang diperjanjikan dan kepastian keamanan tempat tinggal, anak-anak, manula, maupun binatang yang dirawat PRT.

Sementara, perempuan yang bekerja sebagai PRT berkontribusi untuk kesejahteraan keluarga. Di saat yang sama, mereka melapangkan dan menopang perempuan lain, yaitu majikan untuk dapat bekerja di ruang publik. Relasi kerja yang setara, adil, saling mendukung dan menguntungkan inilah yang semestinya dilindungi secara hukum melalui pengesahan RUU Perlindungan PRT.

Komnas Perempuan meminta DPR segera mensahkan RUU Perlindungan PRT untuk menjamin perlindungan dan memberikan kepastian hukum kepada PRT dan majikan. Kehadiran payung hukum itu sekaligus perwujudan Sila Kedua dan Kelima Pancasila dan menjalankan amanat Konstitusi RI Pasal 28D ayat (2) serta pemenuhan hak asasi manusia utamanya hak asasi perempuan.

Komnas Perempuan juga mendorong pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Serta mengajak masyarakat yang lebih luas dan media untuk mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT dan mengawasi pembahasannya di DPR. 

Baca Juga: 10 Fakta Jessarie Dumaguing, Mantan PRT yang Jadi Ratu Kecantikan

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya