Kisah Ben Anderson Menghidupkan Kembali Tjamboek Berdoeri

Salah satu pembaca Tjamboek Berdoeri kerasukan 

Yogyakarta, IDN Times –Kwee Thian Tjing alias Tjamboek Berdoeri, seorang jurnalis Tionghoa telah menerbitkan dua buku. Buku pertama yang diterbitkan pada 1947 oleh penulis yang juga mendapatkan julukan Si Tangan Majit itu diberi judul Indonesia Dalem Api dan Bara.

Buku itu berupa novel tentang hasil pengamatannya sebagai jurnalis Sin Tit Po terhadap peristiwa-peristiwa sepanjang kurun 1939-1947. Uniknya, buku itu tanpa mencantumkan penerbit dan nama penulisnya. Tetapi penulis kata pengantar dicantumkan nama Kwee. Hasil suntingan yang dilakukan dua penulis dan peneliti sejarah, almarhum Ben Anderson dan Arief W. Djati, buku itu diterbitkan kembali pada 2004 dengan diberi nama penulis, Tjamboek Berdoeri.  

Buku kedua berjudul Menjadi Tjamboek Berdoeri, Memoar Kwee Thiam Tjing dengan editor Ben dan Arief. Djati yang diterbitkan pada 2014. Berisi kumpulan tulisan Kwee yang jika masih hidup berusia 120 tahun, di harian Indonesia Raya sebelum dibredel pasca peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.

“Buku ini susah sekali carinya. Saya dapat di perpustakaan di Gereja Kotabaru,” kata Yunanto Sutyastomo saat memoderatori diskusi Ngobrolin Tjamboek Berdoeri di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 Januari 2020 lalu.

Menurut penyuntingan buku Tjamboek Berdoeri, Arief W Djati , sejumlah buku lawas yang sudah tak diterbitkan acap kali masih ditemukan di toko-toko online. Arief pun pernah menjajal untuk memesannya.

“Tapi ternyata bajakan. Kualitasnya jelek sekali, gak bisa dibaca,” kata Arief yang malam itu mengungkapkan kisah di balik penyuntingan buku Tjamboek Berdoeri.

Baca Juga: Nama Samaran Kwee, dari Tjamboek Berdoeri hingga Tangan Majit

1. Ben mengenal Tjamboek Berdoeri di pasar buku loakan

Kisah Ben Anderson Menghidupkan Kembali Tjamboek BerdoeriPenulis dan peneliti sejarah Arief W. Djati di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Dalam kesempatan itu, Arief berkisah soal awal mula Ben Anderson ikut terlibat menyunting buku Tjamboek Berdoeri, bersama dirinya. Saat itu, kata Arief, pemilik nama lengkap Benedict Richard O’Gorman Anderson yang biasa disapa Ben Anderson tengah melakukan riset di Indonesia untuk disertasinya yang berjudul Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Ketika berkeliling di pasar buku loakan di Jakarta pada 1962, ia menemukan novel Kwee terbitan 1947 itu. Novel itu dipakai Ben untuk referensi disertasinya.

“Ben penasaran dengan orang itu (Kwee Thiam Tjing) dan pengin tahu,” kata Arief.

Usai garapan disertasinya rampung, Ben balik lagi ke Indonesia pada 1972. Dia diinterograsi intelijen sehingga membuatnya frustrasi. Gara-gara Ben menulis tentang peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 yang dinilai bertentang dengan versi Orde Baru. Sejak itu, Ben dilarang masuk ke Indonesia.

“Dia gak mau ngomong lagi tentang Indonesia, gak mau baca (harian) Indonesia Raya,” kata Arief.

Padahal sebelumnya, Ben langganan koran itu. Dia memilih kajian penelitian di negara lain, seperti Filipina. Pasca Orba, barulah Ben bisa masuk. Arief dan Ben pun bertemu. Ia menanyakan apakah Arief mengenal penulis yang pakai nama Tjamboek Berdoeri.

“Tidak. Tapi saya kenal beberapa teman Tionghoa dari Malang,” kata Arief yang kemudian bersama Ben melacaknya.

2. Penyuntingan buku-buku Tjamboek Berdoeri tetap dengan ejaan lama

Kisah Ben Anderson Menghidupkan Kembali Tjamboek BerdoeriPeneliti sejarah Arief W. Djati di Bentara Budaya Yogyakarta, 28 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Arief, proses penyuntingan novel Indonesia Dalem Api dan Bara dimulai pada 2000. Sedangkan buku kedua tentang kumpulan tulisan Kwee di harian Indonesia Raya disunting mulai 2010. Salah satu yang menarik, meski kedua buku itu disunting usai ejaan yang disempurnakan mulai berlaku pada 1978, tetapi tetap ditulis dengan ejaan lama. Keputusan yang tak familier itu hasil diskusi Ben dan Arief.

“Ben bilang sebaiknya pakai ejaan lama. Oke juga, menurut saya,” kata Arief.

Penulisan itu berbeda dengan buku-buku sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang disunting ulang dengan menyesuaikan ejaan yang berlaku sekarang.

“Untuk buku-buku ini kami enggak mau begitu (menyesuaikan ejaan). Biar kalau orang ngutip seolah-olah Tjamboek Berdoeri yang menerbitkan lagi,” kata Arief mengungkap alasannya.

Ibarat tes ombak, Arief pun mengedarkan kopian tulisan kepada beberapa teman yang usianya lebih muda. Mereka diminta membaca dan memberi komentar. “Mereka bilang gak masalah. Meski awalnya agak aneh,” kata Arief.

Arief dan Ben menjelaskan ejaan dan istilah asing dalam catatan kaki di buku itu. Meski demikian, Arief mengaku salah satu kendala menyunting buku-buku itu adalah mengembalikannya seperti yang ditulis Kwee tanpa kesalahan sama sekali. Lantaran minimnya referensi dan saksi sejarah yang masih hidup dan mengenal Kwee.

“Termasuk kesalahan yang dibuat Kwee sendiri,” kata Arief.

Semisal, Kwee menyebut dia pernah ke Kantor Harian Sin Po di Jakarta. Setelah Arief melakukan pengecekan, ternyata Kwee belum pernah ke sana, melainkan ke Kantor Sin Tit Po di Surabaya.

3. Ada yang ‘kesurupan’ Tjamboek Berdoeri

Kisah Ben Anderson Menghidupkan Kembali Tjamboek BerdoeriFoto diri Kwee Thiam Tjing. (Wikimedia)

Yang menarik usai buku itu diterbitkan, lanjut Arief, ada anak muda Sunda yang mengaku merasa kerasukan Tjamboek Berdoeri setelah selesai membacanya. Dia bikin blog Tjamboek Berdoeri dan pakai nama itu untuk nama samarannya.

“Kalau ditanya orang, dia pakai bahasa yang biasa dipakai Kwee,” kata Arief yang mengaku heran.

Menurut Arief, pemuda itu juga memasukkan profil Tjamboek Berdoeri dengan bahasa ala Kwee di Wikipedia. Lantaran didebat, ia pun mengubahnya dengan bahasa yang disesuaikan.

“Saya pernah 1-2 kali ketemu dia. Anaknya antusias. Tapi menurut saya sih, agak kebablasan,” kata Arief.

Baca Juga: Kwee Thiam Tjing, Jurnalis Tionghoa Indonesia yang Terlupakan

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya