Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  

Gelar wayang legenda malah dituding pertontonkan pornografi

Sleman, IDN Times - Seni adalah doa, ketika dijadikan sebagai alat kritik agar kehidupan menjadi lebih baik, maka hal tersebut adalah bagian dari berdoa. Demikian makna seni bagi seorang seniman kontemporer, Heri Dono. 

“Karya-karya yang dieksplorasi tak hanya untuk kepentingan seniman. Melainkan harus berdampak sosial,” kata Heri Dono ketika mengisahkan cerita pembuatan karyanya dalam performative lecture bertema Glokal (Lokal dan Global) di Studio Kalahan, Ambarketawang, Gamping pada Senin (30/11/2020).

Untuk menyuarakan masalah sosial dan mengkritik rezim Orde Baru, HeriDono menggunakan seni untuk mengungkapkannya. Seni diyakininya menjadi media yang relatif aman untuk berekspresi.

 

1. Menggelar wayang legenda yang dituding mempertontonkan pornografi

Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  Tayangan arsip karya Heri Dono tentang wayang legenda Si Tungkot Tunggal Panaluan di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Pada tahun 1988, Heri Dono pernah mementaskan wayang legenda di Galeri Seni Sono, Yogyakarta. Galeri yang terletak di titik nol pusat pusat Kota Yogyakarta tersebut, saat itu menjadi tempat para seniman berkumpul. Di tempat itu, Heri Dono pernah memainkan wayang yang mengambil kisah legenda Batak, Sumatera Utara tentang Si Tungkot Tunggal Panaluan.

Tungkot Tunggal Panaluan adalah sebuah tongkat di Pulau Samosir. Dikisahkan, ada pohon kayu yang dipahat dukun Patigatiga Torus menjadi patung perempuan. Lalu patung itu dihidupkan si dukun dan diberi nama Boru Anian. Perempuan itu pun menikah dengan Raja Batak dan melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan.

Pementasan wayang itu menjadi ingar bingar karena Heri Dono menyajikan adegan ranjang antara Raja Batak dan istrinya. Para seniman tradisional masa itu menganggap adegan persenggamaan dalam pementasan karya seni adalah pornografi.

“Padahal itu family planning, keluarga berencana. Tapi saya harus bisa menerima kalau dikritik,” kata Heri. Pemikiran yang menganggap seksualitas adalah tabu masih sangat kuat masa itu, salah satunya banyak perempuan di kampung yang takut dicium karena takut hamil.

Baca Juga: Jogja Art Weeks 2020 Jawab Kegelisahan Seniman Muda untuk Berkarya

2. Para penggali kubur diajak menari Kuda Binal

Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  Tayangan arsip karya seniman Heri Dono berjudul Kuda Binal di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TiMES/Pito Agustin Rudiana

Karya performance art bertajuk Kuda Binal digelar Heri Dono di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta pada tahun 1992. Heri mengambil konsep dari seni tradisi Kuda Lumping. Namun kuda-kuda lumping yang dimainkan tak hanya berkepala kuda, tapi juga kepala manusia, robot, dan rupa-rupa lain. Kuda-kuda binal itu ditarikan oleh 25 penari yang merupakan penggali kuburan di Kuncen, Yogyakarta.

“Mereka belum pernah menari sebelumnya,” kata Heri.

Gara-gara para penggali kuburan itu terlibat aktif dalam persiapan hingga pementasan Kuda Binal, sebuah pemilihan ketua rukun tangga (RT) di salah satu kampung mereka gagal digelar.

Selain itu, Heri juga pernah mengenakan atribut berupa gas masker yang dibeli di KotaBerlin, Jerman pada tahun 1990. Gas masker itu, menurutnya biasa digunakan ketika perang.

3. Katalog pameran di Museum Inggris ditarik karena berkonsep kudeta 65

Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  Tayangan arsip karya seniman Heri Dono berjudul Blooming in Arms di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Sebuah katalog pameran tunggalnya bertajuk Blooming in Arms digelar Heri di Museum of Modern Art, Oxford, Inggris tahun 1996, batal dibagikan pihak musuem. Alasannya pihak Kedutaan Besar Indonesia di Inggris keberatan dengan konsep yang diusungnya.

“Padahal ini di Eropa, kenapa katalognya ditarik dari peredaran?” kata Heri yang mengaku tak habis pikir tentang represi Orde Baru mengubernya hingga ke Inggris.

Dibatalkannya pemberian katalog oleh pihak museum, menurutnya karena konsep pameran mengangkat tema kudeta 65.

 

4. Melukis Soeharto yang ditangkap dan Pangeran Diponegoro yang tertawa lepas

Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  Tayangan arsip proses kreatif seniman Heri Dono di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Heri Dono juga bercerita tentang lukisan yang dibuat tahun 2007 berjudul Salah Tangkap Pangeran Diponegoro. Di lukisan tersebut diceritakan bukan Diponegoro yang ditangkap, melainkan Soeharto. Sementara Diponegoro berhasil lolos dan naik ke atas genting. Ia dilukiskan tertawa sembari mengacungkan jari tengah tangan kanannya ke arah Soeharto.

Lewat lukisannya, Heri Dono ingin bilang, sejatinya Soeharto tak pernah ditangkap dan memang tak pernah ditangkap oleh institusi atau lembaga hukum mana pun.

“Kecuali ditangkap imajinasi seniman di dalam lukisan,” kata Heri.

Heri mengaku tak pernah menggunakan judul yang lugas, seperti Penangkapan Soeharto sebagaimana lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lantaran buntutnya akan menjadi persoalan.

“Jadi problem bagi intellectual security. Di Indonesia, kami tidak secured untuk mengekspresikan sesuatu,” kata Heri.

5. Alat berat begho diajak menari di Alun-alun Utara

Di Balik Karya Heri Dono, Tari Penggali Kubur hingga Ekskavator  Tayangan arsip karya-karya seniman Heri Dono di Studio Kalahan, Sleman, 30 November 2020. IDN TIMES/Pito Agustin Rudiana

Pada 2009, Heri Dono menyajikan kembali konsep Kuda Binal yang dikemas dalam performance art yang berbeda. Tak lagi kuda-kuda lumping beraneka bentuk kepala. Digantikan dengan sebuah alat berat berupa ekskavator atau beko berwarna kuning yang menari di Alun-alun Utara. 

“Saya buat komposisi Tari Bedaya, karena gerakan beko itu luwes seperti gerakan tangan,” kata Heri.

Pada tayangan di layar, alat tersebut dibuat berputar, tangan beko yang seperti belalai pun bergerak luwes. Bahkan sesekali menumpu pada tanah sehingga badannya terangkat sedikit ke atas.

Awalnya, Heri akan menghadirkan sembilan alat berat di atas tanah alun-alun. Lantaran bobot satu beko mencapai 20 ton, dia khawatir gerakannya bisa merusak instalasi di bawah tanah. Meski begitu, keinginan untuk menghadirkan banyak beko masih tersimpan dalam benaknya.

“Mungkin suatu saat bisa berkolaborasi dengan koreografer. Tari Bedaya dengan traktor,” kata Heri penuh antusias.

Sejumlah properti lain juga pernah dihadirkan seniman yang lahir 12 Juli, 60 tahun yang lalu. Seperti sebuah truk dan 5 gerobak sampah.

Performance art yang diberi tajuk Tari Traktor Yogyakarta itu membawa pesan bahwa manusia memuji alam semesta beserta kehidupannya, namun sekaligus menghancurkan.

“Itu seperti sifat traktor yang dualistik, bisa menghancurkan tapi juga membangun,” kata Heri. 

Baca Juga: Rilis Art Book, Ini 9 Karya Seni Seulgi Red Velvet yang Menakjubkan

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya