Budi Tongkat Berjejaring Membentuk Komunitas Seniman Difabel

Seniman difabel adalah subjek, bukan objek

Yogyakarta, IDN Times - Meski lahir dari keluarga tentara, seni rupa sudah diakrabi Sukri Budi Dharma sejak kecil. Masa kecil Butong, demikian panggilan akrab laki-laki 46 tahun itu, tertarik dengan cerita bergambar seperti Doyok dan Ali Oncom yang diterbitkan di surat kabar Pos Kota di Jakarta. Difabel daksa sedari lahir ini melatih diri untuk melukis kembali gambar-gambar itu secara otodidak.

Tak disangka, bakat masa kecilnya itu mengantarkan Butong mengakrabi dunia seni hingga kini. Bahkan membawanya hingga ke luar negeri dan membangun jejaring di sana.

Baca Juga: Kaum Difabel dalam Lingkaran Stigma Reproduksi dan Seksualitas (1)

1. Jebolan IKJ yang merampungkan jurusan psikologi

Budi Tongkat Berjejaring Membentuk Komunitas Seniman DifabelBudi Tongkat (kiri) dalam pementasan teater. Dokumentasi JDA

Nama Butong, kepanjangan dari Budi Tongkat, disematkan teman-temannya ketika kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Lantaran dia harus menggunakan bantuan tongkat yang menjadi pengganti kaki kanannya. Meski tak rampung, jebolan mahasiswa IKJ Angkatan 1994 itu melanjutkan kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Gunadharma Jakarta.

“Daripada tanya kapan lulus di IKJ, mending tanya kaburnya kapan. Tapi psikologi selesai 4,5 tahun,” kata Butong saat dihubungi IDN Times, Jumat (26/3/2021).

2. Membentuk komunitas difabel seni

Budi Tongkat Berjejaring Membentuk Komunitas Seniman DifabelPementasan seni di Tembi Rumah Budaya, 2011. Dokumentasi JDA

Butong hijrah ke Yogyakarta. Dia tertarik membentuk komunitas difabel yang berminat di bidang seni. Namanya Difabel and Friends Community yang dibentuk pada 2009 dan sudah mengantongi nomor induk kesenian (NIK) Dinas Kebudayaan Bantul. Mereka berkreasi di bidang seni rupa, teater, juga musik.

Masa itu, hanya ada 10 orang difabel yang berminat di dunia seni. Kemudian pada 2010, komunitas difabel itu bertemu dengan seniman-seniman Sanggar Bambu di Yogyakarta. Mereka berdiskusi mengenai seni dan pengembangan jaringan.

Latihan seni pun digelar. Lokasi latihan pun berpindah-pindah. Dari kontrakan Butong ke kontrakan temannya. Sempat juga menumpang di Sekolah Luar Biasa (SLB) di sana. Atas kepedulian pemuka warga setempat di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, kendala lokasi latihan pun terselesaikan pada 2011.

“Mas Wahyudi (sekarang Lurah Panggungharjo) mempersilakan kami latihan di pojok budaya di Kampung Dolanan,” kata Butong.

3. Membaur bersama masyarakat membentuk desa inklusif

Budi Tongkat Berjejaring Membentuk Komunitas Seniman DifabelBudi Tongkat (kiri) bersama anak-anak di lingkungan warga. Dokumentasi JDA

Di Panggungharjo, komunitas difabel itu membaur dengan warga. Mereka menggelar kegiatan seni bersama yang diberi nama Pawiyatan sejak 2016. Ada Pawiyatan Seni Rupa, Pawiyatan Seni Musik, juga Pawiyatan Seni Teater. Mereka mengundang anak-anak desa setempat, baik yang difabel maupun non-difabel untuk berlatih seni bersama.

“Ada nilai positif yang didapatkan. Teman-teman disabilitas dan non-disabilitas belajar bersosialisasi dan memahami. Inklusif,” kata Butong.

Namun pandemi COVID-19 membuat aktivitas kumpul-kumpul itu terhenti.

4. Berjejaring membentuk Yayasan Jogja Disability Arts

Budi Tongkat Berjejaring Membentuk Komunitas Seniman DifabelDifabel dan non-difabel belajar bersama dalam pawiyatan seni. Dokumentasi JDA

Ada impian untuk mengembangkan keanggotaan hingga taraf nasional. Namun perlu lembaga yang berbadan hukum. Bersama Nano Warsono, Theresia, Jajang Kawentar membuat yayasan yang mereka beri nama Yayasan Jogja Disability Arts (JDA) pada 2020. Yayasan itu berorientasi pada seni. Komunitas Difabel and Friends Community menjadi cikal bakalnya.

“Karena belum banyak ruang yang diberikan kepada difabel pelaku seni. Apapun itu,” kata Butong yang menjadi pendiri sekaligus ketuanya.

Pada pandemi tahun lalu, JDA menggelar pameran seni rupa secara virtual. Pesertanya 10 seniman difabel dari berbagai daerah, meliputi Yogyakarta, Gunungkidul, Madiun, Bandung, Jakarta, Bengkulu, Aceh, dan Bali. Karya-karya seniman dalam pameran bertajuk Peace in Chaos itu diunggah di sejumlah media sosial sejak 11 Juni 2020.

“Mereka dari beragam disabilitas. Netra, daksa, rungu wicara,” kata Butong yang kini mempunyai sekitar 30 anggota.

5. Seniman difabel menjadi subjek, bukan objek

Budi Tongkat Berjejaring Membentuk Komunitas Seniman DifabelDifabel dan non-difabel belajar dalam pawiyatan musik. Dokumentasi JDA

Seni masa itu, menurut Butong, masih dilihat sebelah mata. Bukan kegiatan primer maupun sekunder, melainkan tersier. Lantaran kegiatan seni tak selalu rutin menghasilkan produk. Tak heran, menurut Butong, pemerintah pun kurang memperhatikan nasib difabel seni ini.

“Padahal banyak seniman difabel yang menjadi duta seni di luar negeri,” kata Butong.

Sikap pemerintah pun dinilai kurang memperhatikan nasib difabel seni ini. Berbeda dengan atlet yang terlihat prestasi yang dicapai.

“Mestinya ada dukungan pemerintah,” kata Butong yang pernah ikut serta dalam program disability art learning di Inggris pada 2019.

Kini ada program fasilitas bidang kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program itu memprioritaskan pada perempuan dan difabel. Meski ada dukungan pemerintah, Butong berharap seniman difabel menjadi subjek, bukan objek.

Baca Juga: Syam Terrajana, Pemain Teater yang Jatuh Cinta pada Jurnalisme

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya