Angkat Pelecehan dan Prositusi Konde dan Magdalene Kena Serangan Cyber

Akun medsos dan website tiba-tiba tak bisa dibuka 

Yogyakarta, IDN Times – Dua media online yang mengangkat isu kesetaraan gender dan minoritas, Magdalene.co dan Konde.co menjadi korban serangan digital pada waktu bersamaan. Tanggal 15 Mei yang lalu situs Magdalene.co sempat beberapa kali tak bisa diakses. Tidak hanya itu awak medianya juga mengalami intimidasi.

Hal yang sama dialami Konde.co, akun media Twitter diambil alih pelaku dan hilang sehingga tak bisa diakses.

“Motifnya apa, pemberangusan kebebasan berekspresi jelas iya. Ada yang gak suka dengan konten perempuan dan feminis,” kata Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana saat dihubungi IDN Times, Minggu (14/6).

Kedua media online tersebut bersepakat mengadukan kasus pemberangusan kebebasan berekspresi itu ke Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, serta SafeNet.  

“Ini represi cara baru. Lebih baik mengadu. Biar dibawa ke luar biar orang-orang tahu ada serangan,” kata Luviana.

1. Akun media sosial Konde.co tak bisa diakses

Angkat Pelecehan dan Prositusi Konde dan Magdalene Kena Serangan CyberIlustrasi. idn media

Luviana menceritakan kronologi sebelum media sosial Twitter milik Konde.co yaitu @konde_co tidak dapat diakses. Pada tanggal 15 Mei, ia tengah menyiapkan program Konde Women’s Talk yang akan disiarkan langsung via instagram di tanggal yang sama pada pukul 20.00. Temanya tentang kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan IM, mahasiswa penerima Australia Awards Scholarships Awardee yang kini menempuh S2 Master of Urban Planning di University of Melbourne.

Diskusi didahului unggahan tulisan panjang tentang kasus IM dengan judul "Berdalih Menanyakan Kabar, Ibrahim Malik Diduga Melakukan Banyak Kekerasan Seksual" yang dimuat di situs Konde pada 6 Mei. Artikel itu menjadi rujukan alumni penerima beasiswa Australia yang disebar untuk menggalang dukungan melalui change.org.

“Artikel itu pembacanya ribuan,” kata Luviana mengisahkan kronologinya.

Setengah jam sebelum talk show dimulai tiba-tiba akun Twitter Konde tak bisa dibuka. Padahal sebelumnya akun itu masih bisa digunakan untuk menyebar flyer acara. Ada pesan muncul saat membuka akun Twitter Konde, yaitu pemilik akun harus mengirimkan nomer telepon, setelah itu akan diterima  pesan pendek (short message service). Pesan dipenuhi, tapi tak ada balasan. Melalui email terdapat pemberitahuan akun Twitter itu tengah dibuka paksa dari Surabaya.

“Diskusi tetap dilakukan dan berjalan lewat instagram tanpa gangguan,” kata Luviana.

 

Baca Juga: Cara Perempuan-perempuan Ini Bertahan di Tengah Wabah COVID-19

2. Medsos digunakan untuk menyebarkan artikel

Angkat Pelecehan dan Prositusi Konde dan Magdalene Kena Serangan Cyberunsplash.com/nahel abdul hadi

Esok harinya Twitter Konde tetap tak bisa diakses, bahkan dengan cara mengubah password. Ada kiriman surat elektronik lagi yang memberitahukan akun akan dibuka paksa dari Yogyakarta dan Netherland. Awak Konde pun melayangkan laporan ke pihak Twitter. Balasannya, akun tersebut sudah tidak ada dan besar kemungkinan akibat ulah hacker yang kemudian menguncinya.

Dia sempat tak habis pikir ada orang yang menyerang akun medsos medianya. Padahal keduanya adalah media alternatif dengan modal kecil.

“Nyari duit susah apa untungnya menyerang?” tanya Luviana.

Luviana menduga serangan digital yang dialami kedua media itu berkaitan dengan konten yang dimuat di sana. Sementara medsos adalah satu-satunya alat penyebaran informasi setiap kali ada artikel yang diterbitkan. Lewat medsos yang mereka miliki artikel dengan mudah menyebar melalui jaringan secara online.

Luviana mengaku kesal sebab akun Twitter tersebt sudah dipakai sejak 2016 untuk kampanye isu-isu kesetaraan gender melalui tulisan yang dimuat di Konde.co. “Ini kayak ngacak-ngacak rumah terus dirubuhin," ujar Luviana.

3. Situs Magdalene.co dan akun medsos awak redaksi dibanjiri ujaran kebencian

Angkat Pelecehan dan Prositusi Konde dan Magdalene Kena Serangan CyberIlustrasi (IDN Times/Rochmanudin)

Pada tanggal yang sama yaitu Jumat, 15 Mei Magdalene.co menerbitkan kembali artikel lama berjudul “Prostitusi Bisa Jadi Pilihan yang Berdaulat”. Artikel itu tentang praktik prostitusi yang menjadikan perempuan sebagai korban karena eksploitasi. Penulis berargumen perempuan adalah korban prostitusi sehingga harus dilindungi bukan dikriminalisasi.

Setelah muncul berita tersebut, respon negatif bermunculan. Ada makian, ujaran kebencian yang merendahkan perempuan, dan komentar kasar lainnya. Akun Twitter awak media Magdalene pun diserang dengan komentar kasar serupa.

“Kami dianggap mempromosikan prostitusi. Padahal kami ingin membuka dialog ini tentang kenyataan yang dihadapi perempuan,” kata Co-founder sekaligus Managing Editor Magdalene.co, Hera Diani saat dihubungi IDN Times, Minggu (14/6).

Tiba-tiba website Magdalene tak bisa diakses hingga berjam-jam lamanya, respon server menjadi lamban. Namun serangan melalui akun Twitter personal awak redaksi terus datang bertubi-tubi, akhirnya mereka bersepakat menonaktifkan akun Twitter. 

Akhirnya server dapat diperbaiki dan qebsite sudah bisa diakses. Namun serangan terulang pada 8 Juni dan 11 Juni. Website pun kembali tak bisa diakses akhirnya artikel prostitusi pun diturunkan.

“Efeknya berat bagi kami, traffic-nya drop padahal bagi media online traffic yang dibutuhkan untuk tetap hidup,” kata Hera.

Ternyata serangan cyber kali ini bukan kali pertama dialami Magdalene. Seorang jurnalisnya mendapat intimidasi dan doxing, pemberian ilustrasi manga telanjang, serta komentar yang merendahkan martabat perempuan. Hal itu terjadi usai menerbitkan artikel tentang misoginis.

4. Kecaman serangan cyber mengalir dari jejaring nasional dan internasional

Angkat Pelecehan dan Prositusi Konde dan Magdalene Kena Serangan Cyberunsplash/HackCapital

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta serta Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mengutuk keras serangan digital terhadap kedua media online tersebut. Dalam siaran persnya, AJI Jakarta menyebut tindakan itu melanggar UU Nomer 40 Tahun 1999 tentang Pers karena dengan sengaja berusaha menghalangi kerja pers, sehingga para pelaku bisa dijerat pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

“Kami siap mendampingi untuk lapor polisi, tinggal menunggu persetujuan korban,” kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung saat dihubungi IDN Times.

Tindakan tersebut juga dinilai memberangus kemerdekaan pers dan menghalangi peran pers mempromosikan nilai hak asasi manusia dan keberagaman. AJI Jakarta juga meminta masyarakat menyuarakan kemerdekaan pers dan tidak terprovokasi ujaran kebencian yang dialamatkan ke media yang mengangkat isu perempuan dan kelompok minoritas. Apabila terdapat pihak yang keberatan dengan pemberitaan media lebih baik melapor kepada Dewan Pers.

Sementara IFJ dalam siaran persnya menyatakan media memainkan peran penting menyuarakan mereka yang tak mampu bersuara. IFJ mendukung hak Magdalena.co dan Konde. co untuk memublikasikan informasi dan mendukung komunitas minoritas. Serta mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk campur tangan dan melindungi hak media online.

5. DDos dan doxing, bentuk serangan cyber kepada media dan jurnalis

Angkat Pelecehan dan Prositusi Konde dan Magdalene Kena Serangan Cyberidn media

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto dalam diskusi online bertema “Tren Represi di Ranah Internet” dijelaskan tentang serangan digital yang dialami situs Magdalene.co adalah serangan DDos (Distributed Denial of Service). Artinya, pelaku kejahatan melakukan serangan dengan membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, atau jaringan yang mengakibatkan situs down dan tak bisa diakses.

“Siapa pengirim paket sehingga server makin penuh? Bukan tak mungkin untuk menemukannya tapi memang membutuhkan waktu,” kata Damar. Jika pelaku dapat ditemukan dan digiring ke meja persidangan hak tersebut adalah sebuah lompatan besar.

Sementara serangan lain yang biasa dialami media adalah doxing pada jurnalis maupun pemilik media. “Ini merupakan model amuk cyber. Tantangan terbesar berikutnya, menemukan bentuk pelanggaran hukum yang mereka lakukan,” kata Damar.

Mengingat bentuk-bentuk baru serangan cyber kadang tak bisa diakomodir hukum yang berlaku saat ini. Damar berharap pihak yang mengerti hukum bisa duduk bersama untuk melihat jenis-jenis serangan cyber.

“Kalau ada kasus yang bisa diangkat bawa saja. Biar terang siapa pelaku sebenarnya, biar jera,” tegas Damar.

Baca Juga: Tips Ampuh Menjaga Data Personal di Era Digital, Biar Aman dari Hacker

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya