Aktivis Perempuan Yogyakarta Bersuara Soal Korban Kekerasan Seksual

Korban difabel alami stigma ganda

Yogyakarta, IDN Times– Ada yang mengkhawatirkan dari pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) atas Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah diubah menjadi RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada 27 Agustus 2019 lalu di Komisi VIII DPR.

Berdasarkan hasil pantauan Komnas Perempuan, terdapat pernyataan panitia kerja (panja) kepada publik yang menyebutkan ada kecenderungan RUU itu akan diarahkan untuk mengatur hal-hal yang bersifat administratif. Ditakutkan hal itu tidak akan mengatur kekhususan jenis kekerasan seksual dan kekhususan hukum acara penanganan korban kekerasan seksual.

“Padahal keduanya inti dari RUU tersebut,” kata Ika Ayu dari Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dalam pernyatan sikap di Kantor IDEA, Yogyakarta, Rabu (4/9).

Alasan dari panja, karena RUU tersebut akan disinkronkan dengan RUU Hukum Pidana yang juga tengah dibahas di DPR. Padahal kedua RUU tersebut berbeda. RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu lex specialist, bersifat khusus. Sedangkan RUU Hukum Pidana bersifat umum.

“Gak bisa alur berpikir RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual disinkronkan dengan RUU Hukum Pidana. Harus diatur terpisah,” papar Rani Pribadi dari JPY.

Lantas seperti apa kisah carut marut aktivis-aktivis perempuan di Yogyakarta mendampingi penyintas kekerasan seksual sehingga RUU tersebut mendesak segera disahkan?

1. Staf Divisi Internal Media dan Kehumasan LSM Rifka Annisa, Niken Anggrek Wulan

Aktivis Perempuan Yogyakarta Bersuara Soal Korban Kekerasan SeksualPito Agustin Rudiana

LSM yang memberikan pelayanan perempuan dan anak korban kekerasan itu menangani sekitar 300 kasus saban tahun. Pada bulan Januari – Agustus 2019 saja telah ada 29 kasus perkosaan dan 25 kasus pelecehan seksual di DIY dan sekitarnya.

“Angka itu di luar kasus kekerasan yang dialami istri (kekerasan dalam rumah tangga) dan dalam pacaran,” kata Niken.

Persoalannya, tingginya kasus kekerasan seksual tak serta merta bisa diproses secara hukum karena belum ada aturan yang memadai. Pertama, unsur pembuktian berupa adanya ancaman dan perkosaan sulit dipenuhi. Lantaran kasus-kasus kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa yang kental antara korban dan pelaku, di mana pelaku lebih superior ketimbang korban.

Kedua, RUU tersebut mengatur penanganan kasus kekerasan seksual secara terpadu yang melibatkan aparat penegak hukum (APH), pendamping korban, tenaga kesehatan, penyedia rumah aman.

“Kolaborasi itu diharapkan mengubah pola penanganan APH untuk berperspektif terhadap korban,” kata Niken.

Ketiga, korban kekerasan seksual cenderung mendapatkan stigma buruk di lingkungan sosialnya, meskipun menjadi korban. Akibatnya, korban tak berani melapor polisi.

“Jadi kehadiran negara perlu. Dan rancangan undang-undang itu mengaturnya,” kata Niken.

Keempat, dalam regulasi hukum yang telah ada belum mengatur soal pemulihan korban sebagai bagian yang penting. Padahal upaya pemulihan membutuhkan energi yang luar biasa. Niken mencontohkan, biaya pendampingan satu klien hingga penyediaan rumah aman pada 2016 mencapai Rp350 ribuan. Belum lagi ongkos korban untuk pergi pulang melakukan konseling. Sedangkan jumlah kasus 300-an per tahun.

Kelima, RUU itu tak hanya mengatur upaya memperoleh keadilan bagi korban dengan pemidanaan pelaku. Melainkan juga ada restitusi (ganti rugi) bagi korban dan sanksi rehabilitasi untuk pelaku agar bisa mengubah perilakunya.

Baca Juga: Frasa “Sexual Non Marital” Dihilangkan dari Judul Disertasi UIN Sunan 

2. Koordinator Divisi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi SAPDA, Rini Rindawati

Aktivis Perempuan Yogyakarta Bersuara Soal Korban Kekerasan SeksualPito Agustin Rudiana

Selain mendampingi kasus kekerasan perempuan dan anak difabel, Sentra Advokasi Perempuan dan Anak (SAPDA) juga melakukan pendampingan terkait pencegahannya. Rini menjelaskan ada lima bentuk disabilitas, yaitu disabilitas intelektual, fisik, mental, sensorik yang meliputi netra dan wicara, serta disabilitas ganda atau multi karena mempunyai lebih dari satu disabilitas.

Dari 140 kasus yang ditangani SAPDA, sebanyak 59 persen adalah kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, 40 persen dialami difabel mental intelektual, 32 persen difabel rungu dan wicara, sisanya difabel fisik dan netra.

Mengapa difabel rentan menjadi korban kekerasan seksual? Lantaran ada anggapan dari pelaku, difabel wicara tak bakal bisa bersaksi di muka pengadilan karena tak bisa bicara. Kemudian difabel mental yang mengalami kekerasan seksual bisa dianggap suka sama suka.

“Padahal mereka (difabel) tak paham tentang kekerasan seksual, tentang otonomi atas tubuhnya. Tak paham apa yang dilakukan pelaku termasuk intimidasi terhadap tubuhnya,” kata Rini.

Mnenurut Rini, saat kasusnya masuk ke ranah hukum, APH menganggap peristiwa itu terjadi karena suka sama suka, juga dianggap tidak cukup bukti. Lantaran saksi yang ada biasanya korban dan pelaku sendiri. APH menganggap saksi haruslah orang yang melihat, mendengar, atau merasakan. Sementara korban kesulitan memberikan kesaksian karena hambatan disabilitasnya sesuai jenis disabilitasnya.

“Bagaimana APH cari bukti kalau korban tidak bisa melihat?” tanya Rini.

Meskipun tak bisa melihat, difabel netra bisa memberikan kesaksian dengan mengaktifkan indera penciuman. Semisal difabel netra mengetahui siapa yang ada di hadapannya dengan mengenali bau parfum, bau badan, juga suara.

Kemudian difabel intelektual melakukan kesaksian dengan menjawab pertanyaan. Meskipun jawabannya sepatah dua patah kata, tetapi konsisten dari A-Z dengan pertanyaan yang berbeda, menurut Rini, kesaksiannya bisa digunakan untuk mengungkap kronologinya.

Ada pula kasus difabel rungu wicara yang berkenalan dengan pelaku melalui media sosial. Korban mengiyakan ketika pelaku mengajak bertemu untuk berhubungan seksual. Namun kasus itu tak bisa diproses hukum karena tak bisa dibuktikan sebagai kekerasan seksual.

“Kalau APH punya perspektif terhadap korban, mestinya bisa membuktikan kalau ada bujuk rayu, iming-iming dari pelaku,” kata Rini.

Di pengadilan, hambatan komunikasi difabel rungu wicara ketika memberikan kesaksian semestinya bisa difasilitasi pihak pengadilan. Semisal, apabila difabel rungu wicara bisa baca tulis, fasilitas yang diberikan bisa berupa layar yang akan menampilkan tulisan yang otomatis terketik ketika jaksa, hakim, atau pun kuasa hukum pelaku bicara. Atau yang paling sederhana adalah hakim atau jaksa menghadirkan juru bahasa isyarat.

“Persoalannya, hakim mensyaratkan juru isyarat yang bersertifikat. Padahal sulit mencari itu,” kata Rini.

3. Direktur CIQAL, Nuning Suryaningsih

Aktivis Perempuan Yogyakarta Bersuara Soal Korban Kekerasan SeksualPito Agustin Rudiana

Center for Improving Activity in Live of People with Disabilitie (CIQAL) mendampingi perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan, mulai dari proses penyidikan hingga peradilan karena penanganan APH belum berperspektif difabel sebagai korban.

“Jadi perlu ada tips-tips pendampingan,” kata Nuning.

Hingga kini, dari 126 kasus yang didampingi CIQAL, hanya delapan kasus yang sampai proses peradilan. Sebagian besar korban yang didampingi adalah difabel mental, kemudian difabel tuli. Acapkali pelaku berdalih tindakannya bukanlah perkosaan, tetapi suka sama suka.

“Lalu yang sebenarnya cacat itu siapa kalau difabel mental disetubuhi malah dibilang suka sama suka?” seru Nuning geram.

APH yang tak berperspektif terhadap korban juga menganggap kasus itu tak cukup bukti. Lantaran ucapan difabel mental sering berubah-ubah. Semisal ketika saat ini ditanya jam berapa kekerasan terjadi akan berbeda jawabannya ketika ditanya lagi nanti. Belum lagi ketika perkosaan dilakukan berulang kali sehingga difabel mental menjadi ketagihan karena merasa nikmat. Bentuk ketagihan itu biasanya terlihat ketika korban yang difabel mental bertemu dengan laki-laki.

“Selain dianggap suka sama suka, APH yang gak punya perspektif korban malah anggap korban sebagai tersangka karena seolah-olah yang minta korban,” kata Nuning.

4. Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama DIY, Khotimatul Husna

Aktivis Perempuan Yogyakarta Bersuara Soal Korban Kekerasan SeksualPito Agustin Rudiana

Fatayat NU, Khotimatul menyatakan RUU memberikan kepastian perlindungan, rehabilitasi, dan pendampingan terhadap korban.

“Orang biasanya serius pada kasusnya. Tapi abai pada korban. Padahal korban juga butuh pemulihan mental spiritual karena distigma dan dikucilkan,” kata Khotimatul.

Pendampingan yang diberikan lembaganya dengan memberikan konseling dengan pendekatan agama. Mengingat konseling yang biasa diberikan sebatas konseling hukum dan psikologi. Sementara agama selama ini dianggap sering menyudutkan korban karena untuk menghukum pelaku kekerasan seksual minimal bisa menghadirkan empat saksi.

“Itu soal tafsir. Maka perlu ada konseling agama untuk menguatkan korban, bahwa agama tak seperti yang dibayangkan mereka selama ini,” kata Khotimatul.

Selain itu, lembaganya juga mendorong tokoh agama ikut aktif dalam upaya pencegahan kekerasan seksual dan turut mendesak RUU disahkan. Mengingat dari riset kecil-kecilan yang dilakukannya, kekerasan seksual juga terjadi di lembaga-lembaga keagamaan.

“Kami tak memungkiri fakta itu. Jadi penyuluhan kesehatan reproduksi juga diajarkan di lingkungan lembaga keagamaan agar bisa menjaga diri, melindungi diri. Terutama mencegah agar tak terjadi,” kata Khotimatul.

Baca Juga: Buntut Disertasi Kontroversial, Keluarga Abdul Aziz Diteror

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya