Maju sebagai calon pemimpin daerah saat Pilkada bagi seorang perempuan seperti mendapat teror dalam siklus lima tahunan.
Endah Subekti Kuntariningsih mengaku kehidupan pribadinya, sebagai janda diungkit-ungkit saat maju di pesta rakyat sebagai calon pemimpin di Kabupaten Gunungkidul. Puluhan tahun menjadi kader PDIP, dan saat ini menjabat sebagai ketua DPRD Gunungkidul, tetap saja ia mendapatkan serangan bernada miring.
"Wah jangan milih janda, jangan milih perempuan, perempuan itu kanca wingking, kita tidak bisa dipimpin perempuan, imam itu harus laki-laki. Itu pasti keluar. Kedua, jangan pilih perempuan, dia itu kafir, gak berjilbab, kan gitu!" ungkap Endah kepada IDN Times, Jumat (10/5/2024).
Anehnya hal tersebut hanya didengar Endah saat tahun politik. "Kalau pas tidak punya agenda politik, tidak ada isu kayak gitu. Tetapi sebentar lagi (saat pilkada) dipastikan pasti ada. Siapa sih yang mau jadi janda? Tapi apakah saya takut? Tidak. Perempuan harus kuat, harus mampu berdansa dengan kesulitan!” tegasnya.
Perempuan berusia 48 tahun ini pernah maju dalam Pilkada Gunungkidul pada 2015 lalu. Berpasangan dengan Djangkung Sudjarwadi sebagai calon Bupati, Endah kalah dalam Pilkada Gunungkidul di tahun 2015. Saat itu, Djangkung dan Endah diusung PDIP.
Tak hanya penilaian soal status rumah tangganya, perempuan yang memutuskan maju dalam Pilkada 2024 ini mengaku harus menyiapkan dana yang tak sedikit untuk ikut Pilkada. Namun lagi-lagi, ia mendapatkan pertanyaan miring mengenai asal uang yang digunakannya untuk berkampanye.
“Biasanya orang berpikir, bahwa orang (yang) pintar mencari duit itu laki-laki, kan begitu. Selama ini perempuan ibu rumah tangga, kalau bukan perempuan penunggang kuda, wah saya pastikan gak bisa nyalon Pilkada. Dalam arti perempuan karier yang dia punya sumber penghasilan, sehingga berani untuk mempertaruhkan itu. Saya single, janda, suami saya meninggal, jadi tidak ada pertanggungjawaban pada suami,” ujarnya.
Endah membeberkan untuk mengikuti Pilkada diperlukan dana yang tidak sedikit. Di tahun 2015, saat dirinya maju sebagai calon Wakil Bupati Kabupaten Gunungkidul, terdapat 2.900 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Gunungkidul dan setiap saksi dibayar Rp200 ribu, sehingga biaya untuk saksi mencapai miliaran.
“Ditambah biaya sosialisasi di 1.431 dusun, kampanye di 18 kecamatan, pembuatan alat peraga kampanye kaus, bendera, baliho, rontek. Semua itu harus clear berapa biayanya. kemudian kampanye akbar, kampanye akbar itu biasanya lima dapil ya, sekali kampanye Rp80 juta harus clear, kampanye pusat di kabupaten satu tempat harus clear. Belum yang bantuan sosial. Ini yang menjadi beban berat bagi seorang perempuan saat Pilkada,” terangnya.
Tingginya biaya sebagai calon kepala daerah, juga disampaikan mantan Wakil Bupati Sleman tahun 2010-2015, Yuni Satia Rahayu. Ia tak memungkiri penunjukan dirinya maju sebagai calon bupati bersama Sri Purnomo, salah satunya disebabkan kepemilikan uang untuk membiayai politik.
"Ya mungkin saya dianggap mempunyai uang untuk maju Pilkada, paling tidak untuk pembayaran saksi, punya uang itu kan dalam rangka itu sebenarnya. Di dalam Pemilu itu kan kalau bagi PDI Perjuangan adalah bagaimana saksi itu bisa dibiayai," papar Yuni.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri tahun 2019, pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pemilihan kepala daerah (pilkada). Minimal biaya yang harus dikeluarkan paslon berkisar Rp25 miliar hingga Rp30 miliar.
Tak pakai jilbab hingga rambut berwarna cokelat menjadi bahan gunjingan. Saat menjalani kampanye, perempuan tak luput dilihat dari penampilan. Yuni yang kala itu mempunyai warna rambut kecokelatan mengaku kaget lantaran rambut pendeknya menjadi bahan gunjingan.
“Saya dulu kan gak berjilbab, rambut saya waktu itu warna dark brown atau cokelat-cokelat begitulah. Jadi ada kader tua PDI Perjuangan itu sampai WA saya, mbok kalau mau maju Pilkada itu rambutnya disemir hitam, katanya. Ternyata rambut saya pada 2010 itu menjadi masalah begitu. Ya tapi, ya sudahlah, akhirnya rambut saya cat hitam. Kalau pertemuan akhirnya saya pakai kerudung,” tutur Yuni saat ditemui IDN Times di kediamannya di kawasan Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Sabtu (4/5/2024).
Di saat kampanye mendatangi perkampungan, perempuan yang saat ini menjadi anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini mengaku juga mendapatkan penilaian berbeda lantaran memiliki mata sipit.
“Wah kok begini nih wakilnya Pak Sri ini, terus mata saya sipit, wow itu China. Ditambah anggapan perempuan tidak bisa jadi pemimpin, lho kok gosipnya baru muncul bahwa perempuan gak bisa jadi pemimpin begitu. Jadi pemahaman itu dibolak-balik sesuai kepentingan politik mereka, kalau saya melihatnya seperti itu,” terang Yuni.
Satu lagi hal yang menurutnya aneh, yaitu pandangan tentang pemimpin perempuan yang dinilai tidak mampu bekerja. Saat menang Pilkada 2010, atau di masa awal jabatannya, Yuni mengakui para aparatur sipil negara (ASN) melihat dirinya tidak mampu bekerja. Pandangan ini melekat dalam benaknya sesaat menjabat sebagai wakil bupati.
“Ya saya di depan ASN ini kan pertama dipandang tidak tahu, begitu kan. Alah paling gak tau ini, paling cuma untuk wakil-wakilan. Waktu itu saya sebagai wakil bupati,” keluhnya.