Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Tommy Apriando (IDN Times/Pito Agustin Rudiana)
Melakukan advokasi terhadap persma yang tengah bermasalah telah dilakukan organisasi jurnalis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak lama. Setidaknya AJI Yogyakarta telah melakukan pendampingan sejak empat tahun lalu. Meskipun AJI merupakan organisasi jurnalis yang berisi jurnalis-jurnalis yang bekerja di pers-pers umum.
“Persma juga melakukan kerja-kerja jurnalistik seperti pers umum lainnya meskipun tak di bawah perusahaan media,” kata Ketua AJI Yogyakarta Periode 2019-2022 Tommy saat ditemui IDN Times di Wizh Hotel, Yogyakarta, Sabtu (31/8).
Bahkan dalam Kongres Nasional AJI pada 2017 lalu di Surakarta memberi kesempatan jurnalis kampus bisa menjadi anggota AJI. Namun di mata UU Pers, persma tak masuk kriteria pers umum. Dalam proses advokasi mengandalkan UU Hak Asasi Manusia dan konstitusi UUD 1945 yang melindungi kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul.
“Dan kampus mestinya yang memberi perlindungan persma sebagai bentuk kebebasan akademik. Tapi entah mengapa budaya kampus dan birokrasinya tak paham,” kata Tommy.
Ia mencontohkan, birokrat kampus menginginkan citra kampus menjadi besar. Ketika persma menyampaikan kritikan dengan maksud agar kampus memperbaikinya, kampus justru berasumsi kritikan itu akan memperburuk citra, menurunkan akreditasi kampus.
“Citra kampus dianggap bagus kalau unit kegiatan mahasiswa maupun mahasiswa menang lomba ini itu,” kata Tommy.
Bentuk-bentuk advokasi yang diberikan AJI Yogyakarta sebatas ini baru memberikan pendampingan dan audiensi untuk merampungkan masalah dengan birokrat kampus. Mengingat dari sisi regulasi, UU Pers tak semudah membalikkan telapak tangan untuk direvisi dalam waktu dekat agar bisa mengakomodir persma.
AJI Yogyakarta juga berkeinginan membekali persma dengan peningkatan kapasitas dan penguatan standar etik moral dalam melakukan peliputan.
“Kalau membela persma dan mereka melakukan standar jurnalistik yang baik, narasi pembelaannya lebih mudah,” kata Tommy.
Selain itu juga mengumpulkan dan mengundang birokrat kampus untuk menanamkan pemahaman tentang edukasi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Diakui Tommy, ada sejumlah kendala yang tak menutup kemungkinan dihadapi. Seperti kesulitan berkomunikasi dengan birokrat kampus yang berpola pikir ortodoks. Akibatnya sulit memahami peran persma yang juga berperan sebagai watchdog. Dampaknya, birokrat kampus melakukan intervensi dan tekanan kepada persma.
Di sisi lain, ada pula birokrat kampus yang terbuka dan mempunyai kesadaran untuk melakukan perlindungan kepada persma.
“Ada yang mau meminta maaf, meskipun hanya untuk menjaga imej. Tapi itu awalan yang baik,” kata Tommy.