Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Perempuan Jogja Dijebak Jadi Scammer di Kamboja: Gaji Tak Jelas dan Disiksa

Ilustrasi perdagangan manusia. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi perdagangan manusia. (IDN Times/Mardya Shakti)
Intinya sih...
  • Puspa dijebak oleh penyalur tenaga kerja dan dipekerjakan sebagai scammer di Kamboja
  • Modus penipuan melalui Telegram dengan target orang Indonesia, mengiming-imingi penghasilan besar
  • Puspa bekerja 15 jam sehari dengan gaji tak jelas, dikenai denda, dan perlakuan tidak manusiawi

Yogyakarta, IDN Times - Perempuan asal Jogja, Puspa (bukan nama sebenarnya), mengaku jadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO hingga dijual ke Kamboja.

Di negara tersebut, Puspa dipekerjakan sebagai scammer atau penipu secara daring. Dikutip laman resmi Pemda DIY, ia menceritakan ketika masuk jebakan oknum penyalur tenaga kerja sampai mendapat perlakuan tak manusiawi.

1. Masuk jebakan oknum penyalur tenaga kerja

ilustrasi ragam platform media sosial (unsplash.com/dole777)

Kasus yang menjerat Puspa berawal saat dia mengunggah profilnya di media sosial dan berniat mencari lowongan pekerjaan, lantas berkenalan dengan seorang perempuan yang awalnya menawarinya bekerja di Macau, Tiongkok.

"Saya cari pekerjaan di sosial media. Saya memposting saya bisa kerja, apa pengalaman saya. Lalu ada seorang wanita yang inbox ke Facebook saya. Dia menawarkan pekerjaan awalnya di Macau," kata Puspa.

"Lalu saya tukeran nomor. Kita hubungannya lewat WhatsApp, telepon-teleponan, dan sempat video call juga. Kita intens satu bulan penuh kita berhubungan," katanya.

Kenalan Puspa mengaku menjalankan bisnis restoran di Thailand. Dia menawarkan posisi staf dapur dengan gaji 900 dolar. Dokumen dan izin kerja akan diurus di negara tersebut. Puspa berkaca pada pengalamannya bekerja di Singapura dengan proses calling visa. Dokumen bisa diurus di negara tujuan setelah kedatangan.

Namun, tujuan tiket keberangkatan yang diberikan kepada Puspa bukan ke Thailand, melainkan Ho Chi Minh, Vietnam. Dirinya pun sempat menanyakan hal ini kepada kenalannya itu.

"Tapi ia bilang, untuk tenang, dan percaya saja. Dari Ho Chi Minh, saya dijemput seorang pria menggunakan motor untuk menuju ke Kamboja. Tapi itu saya belum tahu kalau mau dibawa ke Kamboja," tuturnya.

Usai melintasi portal imigrasi Kamboja, ia sadar tak lagi bisa menghubungi si penyalur. Transaksi pun dimulai. Puspa dibawa ke pasar oleh orang yang berbeda. Ia melihat seorang pria memberikan uang kepada orang yang membawanya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Padahal, dia pernah mendengar jika Kamboja banyak memberikan pengalaman buruk bagi pekerja migran.

Puspa pun dibawa ke sebuah gedung apartemen dan dimasukkan ke sebuah ruangan berisi sekitar 45 pria yang bekerja menggunakan komputer. Bingung, dia bertanya kepada salah seorang di sana.

"Ini sebenarnya kita kerja apa? Dia bilang, "Kita bekerja sebagai scammer atau penipuan online'," kenang Puspa.

2. Jadi scammer, incar sesama WNI

ilustrasi scammer (freepik/jcomp)
ilustrasi scammer (freepik/jcomp)

Puspa yang lulusan SMP, mengaku perangkat komputer begitu asing baginya. Tapi, dia tak punya pilihan lain. Kerja sebagai scammer pun dilakoninya.

"Kamu tipulah banyak-banyak orang Indonesia. Kamu tidak akan bisa dipenjara. Dan jika kamu tidak bisa menipu, kamu akan merasakan denda atau hukuman. Begitu yang mereka katakan," ujarnya.

Puspa bilang, bisnis scamming ini kepunyaan seorang warga negara China yang berkantor di Kamboja. Mereka mempekerjakan, juga menyasar orang Indonesia sebagai korban penipuan daring ini.

Puspa bekerja dalam sistem tim terdiri dari layanan konsumen atau customer service (CS), resepsionis, dan mentor. Leader alias pimpinan akan membagi tautan ke resepsionis dan CS, yang akan mengolah, menawarkan iklan dan segala hal, serta memberikan komisi awal sebesar Rp18 ribu atau Rp22 ribu.

Para korban biasanya diarahkan untuk mengunduh aplikasi dari Google, bukan Play Store. Selanjutnya diminta top up secara bertahap, mulai Rp110 ribu, Rp160-180 ribu, dan seterusnya. Dengan bimbingan admin yang tampak profesional, mereka diiming-imingi bisa menarik dana.

Selanjutnya, korban dimasukkan ke dalam sebuah grup. Selain korban, grup ini berisikan empat akun palsu. Korban mungkin tak tahu bahwa keempatnya diperankan oleh 'aktor'. Mereka menggunakan foto polisi, tentara, wanita atau individu menarik lainnya.

Puspa mengatakan, mentor mengendalikan grup ini dengan tujuan untuk membangun kepercayaan, sehingga korban bersedia melakukan top up lanjutan sebesar Rp380 ribu hingga Rp1,6 juta hingga Rp7 juta. Pada tahap akhir, korban kembali diminta melakukan top up Rp15-18 juta dan tetap dikenai pajak tambahan Rp7-8 juta.

Hanya saja, saat korban hendak menarik dana cuma Rp1 juta yang bisa dicairkan. Manakala mencoba menarik Rp10 juta, maka akan muncul notifikasi 'kesalahan VIP' dan korban diminta membayar tambahan Rp16-18 juta. Apabila saldo korban besar, semisal Rp50 juta, mereka bakal diminta membayar hingga Rp100 juta untuk memperbaiki sistem VIP.

"Agar tidak tertipu, kalau di-add di grup, lebih baik chat ke personal yang ada di dalam grup itu ajak spam, biar grupnya hilang. Terus jangan tergiur dengan uang instan, kayak pendapatan instan, itu nggak ada. Kita harus susah dulu baru dapat hasil. Kalau dapat link-link mencurigakan, jangan dibuka, lebih baik tinggalkan, blokir aja," saran Puspa.

Modus penipuan ini, kata Puspa, biasanya dijalankan via Telegram dengan metode sangat halus. Nomor yang digunakan pun sulit dikenali bila itu ulah scammer, lantaran menggunakan nomor Indonesia.

"Jangan percaya. Khususnya buat ibu-ibu sama mahasiswa sih, mahasiswa gampang sekali tertipu dan ibu-ibu rumah tangga juga gampang. Jangan percaya," pesan Puspa.

"Kalau ragu, lebih baik browsing. Kita cari tahu di internet. Cari tahu apa sih itu? Mesti muncul kok itu penipuan. Akun ini, mesti muncul kok itu akun penipuan. Dan scam itu udah lama. Kalau udah masuk uang, kita nggak akan kembali," lanjutnya.

3. Gaji tak jelas, perlakuan tidak manusiawi

ilustrasi perdagangan manusia (pexels.com/Cristian Jako)

Puspa menerangkan para pekerja di sana, termasuk dirinya bekerja dari jam pukul 9 pagi sampai 12 malam. Puspa digaji $800 atau sekitar Rp12 juta. Tapi itu belum dipotong denda dan dia tidak tahu pasti nominal yang ia terima.

Dia mencontohkan salah satu jenis denda yang diberikan jika terlambat masuk kerja. Sanksinya pemotongan $10 atau kisaran Rp150 ribu dari gaji.

"Denda yang kita alami itu seperti ke toilet lebih dari 6 kali, didenda $10. Melebihi batas maksimal di toilet 10 menit, didenda $10. Tidur atau memejamkan mata sebentar, didenda $50 atau Rp750 ribu. Telat kerja juga kena denda. Tidak boleh buka YouTube atau aplikasi lain, komputer hanya untuk kerja," bebernya.

Belum lagi soal target. Puspa dalam sebulan diharuskan meraup Rp300 juta dari hasil menipu ini. Jika hanya mendapat separuhnya maka dibayar setengah gaji. Dia tak akan digaji jika cuma mampu mengantongi Rp100 juta dari praktik ini.

"Kita diberi makan, tapi yang harus dimakan itu saren (darah hewan beku), babi, katak. Dan kita tidak punya pilihan lain," ujarnya.

"Resiko yang kita alami, kita bisa disetrum, atau dilempar dari lantai tiga, dan itu teman saya alami. Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang," kata Puspa mengungkap hukuman jika gagal mencapai target.

Paling menakutkan, para pekerja juga bakal dijual ke perusahaan lain jika dianggap tak berguna. Itu belum termasuk kewajiban membayar denda Rp15 juta.

Tak tahan akan sistem kerja dan perlakuan ini, Puspa berupaya menghubungi KBRI untuk minta dievakuasi. Namun, Ia masih harus ditahan selama satu bulan di imigrasi Kamboja sambil menunggu deportasi karena statusnya sebagai PMI ilegal.

Puspa akhirnya berhasil kembali ke Indonesia. Ia yang merasa tertekan tetap berupaya mencari bantuan. Dari BP3MI, diarahkan ke Dinas Sosial DIY yang kini menjadi tempat ia bernaung.

"Terima kasih sama Dinas Sosial, karena saat ini saya dibantu semuanya dari mental, kebutuhan hidup, kebutuhan pangan pun saya dibantu sampai saat ini. Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya,” ungkapnya.

Sekarang, Puspa hanya ingin hidup damai bersama keluarga dan membuka usaha kuliner. Dia berharap tidak ada lagi yang harus mengalami nasib serupa seperti dirinya.

"Tolong jangan percaya dengan hal yang instan. Bekerjalah sesuai proses. Nanti enaknya itu mungkin bukan di depan, enak itu nanti hasilnya di belakang. Nggak apa-apa yang penting kalian itu bisa menikmati. Memang kalau orang Jawa itu, susah-susah dahulu, kayak gitu loh. Angel-angel sik, nikmati, itu benar," jelasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us