Penulis Buku Sekolah Itu Candu: Kurikulum Sekolah Tak Perlu Sama!

Intinya sih...
- Kritik terhadap penyeragaman kurikulum pendidikan di Indonesia yang tidak memperhatikan kebutuhan anak-anak di setiap daerah
- Perbandingan antara kurikulum pendidikan era 1950an-1960an dengan saat ini, dimana Roem menilai kurikulum lama lebih bermakna dan membantu melatih logika berpikir
- Pendapat Roem tentang permasalahan pendidikan saat ini, termasuk pengaruh politik, perangkingan perguruan tinggi, dan perlunya inisiasi masyarakat untuk mengembangkan pendidikan alternatif
Sleman, IDN Times – “Kalau nafsu ingin menyeragamkan itu tidak diselesaikan akan begini terus pendidikan kita,” ujar Penulis Buku Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang, di kediamannya Pakembinangun, Pakem, Jumat (18/4/2025).
Roem menilai salah satu masalah dasar pendidikan di Indonesia adalah penyeragaman, yang membuat pemerintah tidak melihat kebutuhan anak-anak di setiap daerah di Indonesia.
“Yang namanya prinsip ideologi Bhinneka Tunggal Ika, gak berlaku di pendidikan kita. Semua kurikulum mau diseragamkan, apa-apa diseragamkan, terus metodologi. Tidak mesti (seragam), karena kebutuhan pendidikan anak-anak di Papua, beda dengan kebutuhan anak-anak di Jawa, Kalimantan,” ujar Roem.
Bagaimana Roem Topatimasang melihat kurikulum pendidikan di Indonesia? Berikut wawancara dengan IDNTimes.
1. Kemunduran dunia pendidikan
Roem menilai kurikulum antara 1950an hingga 1960an lebih baik dibanding saat ini. Ia yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di tahun 1960an menyebut merasakan manfaatnya hingga saat ini. “Dulu itu cuma matematika, dulu namanya berhitung, terus bahasa, sejarah, budi pekerti, itu saja,” ujar Roem.
Meski hanya empat pelajaran pokok saat itu, namun lebih bermakna. Pasalnya, mata pelajaran tersebut tidak hanya diajarkan oral di kelas. “Misal pelajaran sejarah, dibawa guru ke beberapa tempat ini apa arti dalam sejarah lokal. Itu sekaligus bicara tentang ilmu bumi. Itu teori dasar sekali,” ungkapnya.
Pembelajaran itu juga membantu melatih logika berpikir. Anak-anak saat dibekali pelajaran yang disebutnya ilmu alat atau ilmu-ilmu praktis, seperti pelajaran menulis, mengarang hingga mengeluarkan pikiran dan perasaan siswa. “Itu sangat penting,” ungkap Roem
Sementara itu, pendidikan saat ini terasa melompat tanpa memiliki dasar yang kuat. Ia mencontohkan jika ingin belajar tentang Artificial Intelligence (AI), semestinya harus belajar dulu algoritma yang dasarnya aljabar, aritmatika. Ia mengingat saat duduk di bangku SMP dan SMA terdapat pelajaran aljabar, dan diajar tentang algoritma, setiap anak mempunyai buku saku wajib daftar algoritma.
“Itu dasar sekali untuk memahami ilmu komputasi dan statistik, yang terjadi sekarang itu loncatan, yang dipelajari ilmu alat, tapi dasar gak dipelajari. Sehingga saya bisa memaklumi mengapa banyak anak-anak sekarang itu logikanya gak jalan, ya (sekedar) ngapal, ngapalin saja itu,” ucap Roem.
Implikasinya, anak sekolah akan kesulitan untuk menemukan akar masalah, karena tidak terbentuk logika. “Dalam filsafat disebut epifenomena, fenomena gak lihat itu. Misal sekarang melihat masalah sosial itu semuanya di permukaan, karena logika dasar tidak terbentuk dari awal,” kata dia.
Roem melihat kecenderungan saat ini semua dijadikan mata pelajaran di kelas, bukan kegiatan yang sifatnya praktik dan menjadi pengalaman tersendiri bagi siswa. Hal itu yang membuat pengetahuan murid saat ini sangat verbalistik, karena tidak diajari logika bahasa yang bagus.
“Bahasanya tidak mengandung alur logis. Misal, menemukan kesulitan besar dalam menulis, dalam menyatakan pendapat, artikulasi, diksi terbatas. Itu terjadi akibat-akibat lanjutannya. Mestinya yang namanya pendidikan dasar sampai menengah itu mesti dasar itu diperkuat. Perkuat fundamentnya,” kata Roem.
Roem mengatakan kurikulum pendidikan memang harus berkembang, namun tidak boleh melupakan fundamental atau fondasi awal. Ia memberi gambaran saat membangun rumah, atau akan mempercantik dinding, maka tidak akan berguna jika pondasinya keropos.
2. Sekedar mengejar rangking dan kepentingan komersial
Pendiri INSISTPress itu menyebut persoalan di dunia pendidikan sejak 1980an yang mulai melibatkan politik dalam urusan pendidikan.
“Misal begitu ada survei internasional, IQ anak-anak Indonesia rendah, ribut. IQ kok dijadiin dasar, itu bukan prinsipil, IQ itu hanya alat untuk melihat tingkat kemampuan seseorang anak untuk menyerap pengetahuan, bukan menentukan tingkat kecerdasan,” ujar Roem.
"Begitu juga jika ada perangkingan perguruan tinggi, dan menyebut Indonesia rendah dalam perangkingan. Kemudian semua ribut dan berusaha mengejar rangking. Perguruan tinggi kita di tahun 1960an, 1970an gak ada rangking-rangkingan penemuan luar biasa banyak. Mulai dari (sistem bangunan) cakar ayam, tingkat keletihan logam, itu semuanya,” imbuhnya.
Roem mengungkapkan perangkingan menjadikan pendidikan komersial dan menjadi barang komoditas. Semua berebut menjual nama dan menjual peringkat. “Lembaga pendidikan itu untuk mencerdaskan orang, memanusiakan manusia, mengembangkan pengetahuan, bukan mendapatkan nama besar,” tuturnya.
3. Membangun pendidikan alternatif
Melihat berbagai permasalahan di dunia pendidikan saat ini kompleks, Roem menyebut harus ada keberanian dari sektor lain di luar pemerintah. Masyarakat mengambil alih membuat pendidikan alternatif. “Melawan birokrasi yang jumud (mandek) itu. Kalau mengharapkan perubahan birokrasi yang seperti itu. Saya semakin lama, makin gak percayalah,” tegas Roem.
Roem berharap pada prakarsa masyarakat untuk mengembangkan pendidikan di daerah, meski masih tahap awal. "Sepanjang masyarakat bisa membuat prakarsa di luar sekolah formal, disebutnya masih ada harapan," katanya.
Sejumlah inisiasi itu disebut Roem sudah muncul di beberapa desa. Mereka mulai mendorong literasi, membuat buku yang berisi potensi tentang des aitu, termasuk ekologi, topografi dan yang lainnya. Anak-anak SD mulai membaca tentang desanya. “Itu namanya mengenal ruang kehidupan dan sumber hidup di sana,” ucapnya.
"Melakukan hal yang fundamental, agar anak-anak juga mengenal ruang hidupnya. Sehingga anak-anak menguasai ruang kehidupan mereka, sumber penghidupannya. Masalah kita sekarang ini ruang kehidupan kita banyak dikuasai orang luar, perusahaan besar datang, dapat konsesi. Sumber penghidupan diambil orang luar, orang lokal tidak bisa karena dia tidak menguasai, tidak paham,” imbuhnya.
Roem mengatakan faktor lingkungan juga berpengaruh untuk mengembangkan pendidikan alternatif, termasuk setting sosial, sejarah, dan berbagai faktor lain. Ia mencontohkan Sekolah Eksperimental Mangunan dan Sanggar Sekolah Alam di Jogja yang bisa berkembang karena setting di Jogja lebih memungkinkan.
4. Sekolah rakyat ala Roem
Saat disinggung apakah Roem akan mendirikan sekolah, Roem menyebut dirinya akan menempuh jalur yang berbeda. Dulunya ia sempat percaya bisa mengubah sistem pendidikan di Indonesia, namun lama kelamaan dia mengaku tidak bisa melakukannya.
“Soal birokrasi tadi gak karu-karuan, saya menempuh cara lain, bikin sekolah-sekolah di kampung. Justru yang saya sebut Sekolah Rakyat, tapi kok saat ini tiba-tiba ada istilah itu,” ungkap Roem.
Sekolah Rakyat yang dijalankan Roem tentu berbeda dengan Sekolah Rakyat yang diwacanakan pemerintahan Prabowo Subianto saat ini. Roem mencoba melihat potensi yang ada di kampung dan mengembangkannya.
Dicontohkannya seperti di Adonara, NTT, aa membangun Sekolah Kelapa dengan melihat potensi kelapa yang ada di desa, selanjutnya dikembangkan teknologi dan mengorganisir manajemen produksinya. Pendapatan warga yang dulunya 50 persen untuk belanja pangan, kini berkurang rata-rata hanya tinggal 30 persen, karena hampir semua pangan diproduksi sendiri.
“Juga di Papua ada Sekolah Pisang, Sekolah Ikan, Sekolah Kopi. Itu menggabungkan namanya kearifan lokal dengan namanya ilmu pengetahuan modern,” ujar Roem.